REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Surat Edaran (SE) Kapolri tentang ujaran kebencian atau hate speech masih menuai pro dan kontra. Untuk menghindari pemanfaatan SE tersebut oleh pihak yang tidak bertanggungjawab, LBH Pers Padang mendesak adanya undang-undang yang mengatur tentang ujaran kebencian.
Direktur LBH Pers Padang Roni Saputra menuturkan, hate speech dapat diartikan, kesengajaan seorang pelaku dengan tujuan memunculkan permusuhan. Khususnya, ia melanjutkan, yang dilatarbelakangi ras, suku, agama, dekriminasi gender, sexualitas dan deskriminasi terhadap kaum minoritas.
"Bagusnya ada undang-undang khusus yang mengtur tentang hate speech," katanya.
Ia menjelaskan hate speech harus diatur, sebab poin-poinnya mengatur soal SARA, deskriminasi terhadap kaum minoritas, jenis kelamin, kaum minoritas dan sebagainya. Pengaturan tersebut, menurutnya, agar tidak terjadi tindakan anarkis yang disebabkan oleh SE ujaran kebencian.
"Kalau ada yang mengatur, proses hukumnya lebih bagus daripada hanya merujuk pasal. Harus diatur tindak pidana tentang hate speech, tidak saja merujuk pada KUHP," jelasnya.
Selama ini, ia menuturkan hate speech yang dilontarkan kaum mayoritas terhadap minoritas tidak pernah diproses secara hukum. Menurut Roni, kendati SE hanya kebijakan perundang-undangan yang hanya berlaku bagi internal polri, namun dampaknya juga ke publik. Sehingga, dikhawatirkan, akan ada kerancuan proses penegakan hukum.
"Bagusnya, polisi itu membentuk peraturan Kapolri tentang tindakan preventif hate speech. Bagaimana harus bersikap, berbuat, kalau terjadi pelanggaran, ada sanksinya secara internal," ujarnya.
Sementara itu, kepolisian daerah Sumatra Barat (Sumbar) akan mensosialisasikan Surat Edaran (SE) Kapolri ujaran kebencian atau hate speech kepada anggota polri di daerah tersebut.
"Surat edaran ini kan ditujukan untuk internal. Gunanya ke arah pencerahan (bagi anggota) dan sebagainya," kata Kapolda Sumbar Brigjen Pol Bambang Sri Herwanto di Padang, Kamis (26/11).
Sehingga, ia menjelaskan, dari SE tersebut, anggota dapat semakin memahami bagaimana penanganan kasus ihwal ujaran kebencian. Namun, Kapolda menegaskan, SE bukan satu-satunya dasar bagi anggota untuk menangani suatu permasalah.
"Instrumen yang kita jadikan pedoman ada undang-undang yang lain," ujar Bambang.
SE ini, menurutnya, juga upaya mendorong dan menggugah anggota polri agar membaca, menganalisa serta mengkaji suatu masalah secara jeli dan tajam. Sebab, Kapolda menuturkan setiap cerita, saksi, dan kejadian, mempunyai riwayat berbeda.
Dalam SE tersebut, ia melanjutkan, Polri didorong mengutamakan tindakan preventif atau pencegahan dan deteksi dini. Termasuk, bagaimana membentuk ruang mediasi, agar antara terlapor dan pelapor, dapat terselesaikan secra damai.
"Kalau dengan ruang itu tidak bisa, baru dilakukan penegakan hukum sebagai alternatif terkhir," jelasnya.