REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Advokasi Pusat Studi Hukum dan Keadilan Indonesia (PSHK) Ronald Rofriandi mempertanyakan kenapa Mahkamah Kehormatan Dewan masih mempersoalkan kedudukan pelapor karena yang dilakukan Ketua DPR Setya Novanto padahal sudah jelas diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan DPR No 2 Tahun 2015.
"Patut dipertanyakan alasan MKD untuk menunda rapat pleno karena mempermasalahkan kedudukan atau legal standing pengadu dalam hal ini Menteri ESDM, Sudirman Said," kata Direktur Advokasi PSHK Ronald Rofriandi di Jakarta, Selasa (24/11).
Sebelumnya Mahkamah Kehormatan Dewan menunda rapat terkait laporan menteri ESDM Sudirman Said atas dugaan pencatutan nama presiden Jokowi dan Wapres M Jusuf Kalla oleh Ketua DPR Setya Novanto. Lebih lanjut Ronald menjelaskan ketentuan yang dirujuk adalah Pasal 5 ayat (1) Peraturan DPR No 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara MKD.
Padahal konstruksi pasalnya menggunakan kata 'dapat' dan sesuai dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Lampiran II UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan BAB III Ragam Bahasa Peraturan Perundang-undangan huruf B Pilihan Kata dan Istilah, kata 'dapat' digunakan untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seorang atau lembaga (dalam hal ini MKD).
"Jadi MKD tidak perlu merasa kehilangan cantolan ketentuan dari yang sudah diatur Pasal 5 ayat (1) tersebut. MKD memiliki diskresi untuk menentukan kriteria baru tentang identitas pengadu apabila dianggap tidak diwakili oleh seluruh kriteria yang ada di Pasal 5 ayat (1)," Kata Ronald.
Dengan begitu tambahnya bukan kemudian mempermasalahkan tidak adanya kriteria yang cocok dengan identitas pengadu (dalam hal ini Sudirman Said). "MKD juga sebenarnya bisa menempatkan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan SN dalam kategori tidak memerlukan atau mensyaratkan pengaduan dan ini terbuka berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf b Peraturan DPR No 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara MKD," kata Ronald.
Ketentuan tersebut tambah Ronald menyatakan bahwa perkara tanpa pengaduan--salah satunya adalah (dugaan) pelanggaran UU MD3, peraturan DPR, dan kode etik yang sudah menjadi perhatian publik.
"Dan apa yang dialami Setya Novanto saat ini bisa masuk kategori ini," kata Ronald.