REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana dan Tindak Pencucian Uang, Yenti Ganarsih menilai ada dua hal berbeda dalam kasus yang menimpa Ketua DPR RI, Setya Novanto. Dua hal ini masing-masing dapat tetap jalan tanpa saling berkaitan.
Pertama, soal keabsahan bukti rekaman percakapan yang diberikan oleh pelapor Menteri ESDM, Sudirman Said pada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Kedua soal, substansi dari kasus yang dilaporkan, yaitu soal pertemuan Ketua DPR RI yang membuat dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden terjadi.
Menurut Yenti, masing-masing dari dua hal itu bisa tetap berjalan. Kalaupun, saat ini tim kuasa hukum Setya Novanto memertanyakan keabsahan dari bukti rekaman berdurasi belasan menit itu, kasus hukum pidana soal pencatutan nama tetap dapat berjalan.
(Baca: KPK Diminta Turun Tangan Soal Kasus Setya Novanto)
Bahkan, pencatutan nama yang dapat dijerat pasal Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi itu harus segera ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Sebab, hal itu melibatkan penyelenggara negara, yaitu Ketua DPR RI.
“Menyadapnya ilegal, tapi kita sudah dapat informasi itu, ya didalami,” kata Yenti saat ditemui di kompleks parlemen Senayan, Senin (23/11).
Anggota Panitia Seleksi (Pansel) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini menambahkan, soal keabsahan bukti rekaman yang digunakan oleh Sudirman Said untuk melaporkan Setya ke MKD, silakan diselidiki. Pihak berwenang dapat melakukan uji forensik dari hasil rekaman dan otoritas perekamnya.
Namun, substansi kasus yang ditimpakan pada Ketua DPR RI ini juga harus tetap berjalan. Sebab, informasi ini sudah tersebar.
Ini ibarat ada laporan dari pihak masyarakat. Jadi, penegak hukum harus tetap turun tangan, terutama KPK.
Yenti bahkan menilai hukum pidana yang diduga dilakukan oleh Ketua DPR RI ini harusnya juga tetap jalan meskipun proses di MKD tetap jalan. Sebab, berdasarkan informasi dari bukti rekaman tersebut, ada dugaan penipuan dengan mencatut nama yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Setya Novanto dapat dijerat pasal 378 UU KPK.
“Misal ada pencatutan berarti dia (Setya Novanto) nipu, sehingga kenap pasal 378 UU KPK, bahwa unsur penipuan digunakan penyelenggara negara, langsung gunakan UU Korupsi,” tegas Yenti.