Selasa 24 Nov 2015 01:18 WIB

KPK Diminta Turun Tangan Soal Kasus Setya Novanto

Rep: Agus Raharjo/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Setya Novanto - Sudirman Said.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Setya Novanto - Sudirman Said.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana, Yenti Ganarsih menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus turun tangan menangani kasus Ketua DPR RI, Setya Novanto. Menurutnya, adanya bukti rekaman percakapan yang diduga dilakukan Ketua DPR dengan Pimpinan PT Freeport Indonesia dan salah satu pengusaha dapat dijadikan pijakan awal penyidikan.

Meskipun, legalitas rekaman itu masih dipertanyakan, namun, substansinya memang ada pertemuan antara ketiga pihak yang ada di rekaman suara. “KPK atau Polisi harus turun tangan dalam arti penyelidikan karena dia sudah dapat dalam poin yang disebutkan di pasal 106 (KUHAP),” kata Yenti di kompleks parlemen Senayan, Senin (23/11).

Anggota Panitia Seleksi (Pansel) calon pimpinan KPK ini menambahkan, harusnya sejak kasus ini pertama kali muncul, KPK sudah harus jalan. Dilihat dari substansi rekaman yang digunakan oleh Menteri ESDM, Sudirman Said untuk melaporkan Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), KPK atau polisi dapat menindaklanjuti penyelidikan tanpa proses aduan.

Hal itu sudah tegas ada di pasal 106 KUHAP. Jadi aparat penegak hukum seperti KPK atau Kepolisian harusnya tidak menunggu ada laporan atas dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden oleh Ketua DPR RI ini.

Dari informasi adanya rekaman ini, seharusnya KPK dapat mendalami kasus ini apakah berpotensi merugikan negara atau masuk dalam pasal penipuan. Sebab, dugaan sementara, laporan Menteri ESDM ke MKD adalah pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden.

Kalau hal itu terbukti dapat masuk dalam pasal 378 Undang-Undang KPK. Sebab, pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden ini dilakukan oleh penyelenggara negara. Jadi masuknya tetap ke UU Tindak Pidana Korupsi.

“Kan sama saja seperti ada laporan dari masyarakat,” tegas Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Jakarta ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement