Senin 23 Nov 2015 16:19 WIB

6 Alasan MKD Harus Sidang Setya Novanto Secara Terbuka

Rep: C25/ Red: Karta Raharja Ucu
Ketua DPR Setya Novanto
Foto: Republika/ Yogi Ardhi
Ketua DPR Setya Novanto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus dugaan pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla oleh Ketua DPR, Setya Novanto, terus menggelinding. Majelis Kehormatan Dewan (MKD) dituntut menggelar sidang secara terbuka untuk mengakhiri polemik tersebut.

Pendiri LSM Lingkar Madani (LIMA), Ray Rangkuti, menuntut agar sidang-sidang yang dilakukan MKD DPR terkait kasus Setya, dilakukan secara terbuka. Menurutnya, alasan pertama dan terkuat sidang-sidang harus dilakukan terbuka, adalah karena kasus pencatutan nama Jokowi dan JK merupakan kasus pelanggaran berat.

"Dengan semua pertimbangan itu, amat mudah untuk membuat keputusan bahwa kasus ini adalah masuk dalam kategori pelanggaran berat," kata Ray kepada Republika.co.id via WhatsApp, Senin (23/11).

Ia menganggap sanksi dari pelanggaran yang dilakukan terlapor juga berat, yaitu pemberhentian terlapor. Kedua, setidaknya terdapat empat pasal aturan kode etik yang diduga dilanggar oleh terlapor, yang diantaranya adalah pasal 2 ayat 1 dan 2 soal kepentingan umum, pasal 3 ayat 2,3 dan 4 soal integritas, pasal 4 ayat 1 dan 2 soal hubungan dengan mitra kerja dan pasal 6 ayat 4 soal keterbukaan dan konflik kepentingan.

"Ketiga terlapor adalah pimpinan DPR yang diduga melakukan kegiatan yang bukan tupoksinya, yang dengan sendirinya kejadian ini dapat dilihat sebagai kejadian yang tidak biasa," kata alumnus UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta itu.

Keempat, masih kata Ray, kasus ini merupakan sidang kedua bagi terlapor Ketua DPR RI Setya Novanto, yang mana sidang pertamanya adalah terkait pertemuan dengan Donald Trump. Kelima, objek dari dugaan adanya pencatutan itu mengenai nama Presiden dan Wakil Presiden, sehingga jelas berimplikasi serius apalagi pencatutan dilakukan untuk kepentingan diri sendiri.

"Terakhir, pencatutan dilakukan untuk menarik keuntungan bagi diri sendiri, yang dalam kasus ini diduga adanya permintaan pembagian saham Freeport untuk dibagikan kepada elit politik tertentu," ujar pria berusia 46 tahun ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement