REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said melaporkan dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo adalah langkah tepat. Namun ada beberapa hal yang perlu dilihat, misalnya kronologi.
Dosen komunikasi politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Nyarwi Ahmad menyatakan perlu dijelaskan siapa yang berkepentingan yang berkepentingan dalam hal ini. Kemudian menurut dia apa saja dampak di balik hal tersebut dan apa implikasinya dari apa yang ingin mereka tunjukkan ke publik.
"Arahkan ke hal-hal substansif, misalnya apa isi kontrak Freeport dan yang dilaporkan terkait apa, misalnya saham. Fokus saja di situ. Tidak usah keluar dari sana," ujar dosen komunikasi politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Nyarwi Ahmad kepada Republika.co.id, kemarin.
Seluruh pihak harus bisa membedakan mana hal pokok dan mana hal di luar itu. Jangan hanya ribut melaporkan hal yang diselimuti suasana politis.
Ia meminta harus jelas apa konflik dalam kontrak tersebut. "Kita tidak melihat publik debat antara eksekutif dan legislatif, isunya hanya seputar etis dan hukum. Diskusi substantif kurang terangkat," kata dia.
Dalam konteks profesional gaya komunikasi Setya Novanto kurang artikulatif dan ekspresif. Seandainya Setnov tidak merasa bersalah, maka ia harus meluruskan tuduhan yang dialamatkan padanya.
"Sampaikan saja bagaimana kronologi sebenarnya, apa peran dia, apa yang dia perjuangkan," ujar Nyarwi. Kalau dia serius memperjuangkan Freeport, lebih baik jujur saya, namun bukan berarti boleh ikut mengeksekusinya. Pasalnya soal urusan mengeksekusi, itu menjadi kewenangan eksekutif.
Dugaan pencatutan nama oleh Setnov lebih baik diserahkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Namun, kata Nyarwi, terkadang MKD juga 'masuk angin'. "Kalau dikembalikan ke hukum tapi hukumnya tidak bekerja itu yang jadi masalah," kata dia.
Idealnya Golkar sebagai partai Setnov berasal harus berani memberikan penilaian terhadap apa yang dia lakukan, misalnya Setnov harus mundur atau sementara nonaktif.