Jumat 20 Nov 2015 22:36 WIB

Kasus Setya Novanto Mirip Kasus Ariel Peterpan

Setya Novanto
Setya Novanto

REPUBLIKA.CO.ID, Ada dua persoalan serius terkait kasus terbongkarnya rekaman Ketua DPR Setya Novanto yang kabarnya mencatut nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla dalam pembicaraan mengenai Freeport.

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan, Bandung, Jawa Barat, Asep Warlan Yusuf mengatakan, setidaknya ada dua hal, yakni proses penegakan hukum dan demokrasi juga masalah konstitusional, utamanya terkait pasal 33 UUD 45.

"Dua hal ini luput dari perhatian dan masyarakat hanya fokus pada Setya Novanto saja,” ujar Asep ketika dihubungi, Jumat (20/11).

Asep melanjutkan, proses pengambilan rekaman tanpa seizin yang bersangkutan dan kemudian disebarkan juga tanpa izin adalah proses pelanggaran hukum.Terlepas dari kebenaran isi rekaman tersebut, menurut Asep, jika hal ini bisa digunakan sebagai bukti hukum, maka bukan tidak mungkin masyarakat juga bisa dijebak dengan yurisprudensi pada kasus ini.

“Yang namanya merekam apalagi sampai menyebarkan ini harus seizin yang bersangkutan. Kalau pengusaha saja bisa menjebak seorang pimpinan lembaga tinggi negara seperti ini, bisa dibayangangkan jika penguasa melakukan hal seperti ini pada rakyatnya? Dampak ini yang harus dipikirkan,” ujar Asep.

Rakyat, kata Asep, nantinya akan ketakutan untuk berbicara dan mengkritik penguasa karena khawatir setiap pembicaraannya bisa direkam oleh siapapun untuk dilakukan proses hukum pada dirinya. Semisal ada yang bicara jelek tentang penguasa dan kemudian ada yang melaporkan, kemudian orang tersebut kemudian ditindak atas dugaan pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan, maka rakyat pasti akan kerepotan nantinya.

Menurut Asep, proses penegakan hukum harus dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku. Penegakan hukum tanpa menggunakan aturan hukum hanya akan berujung pada kesewenang-wenanngan. “Ini seharusnya juga diperhatikan, penegakan hukum tidak bisa dilakukan dengan melanggar hukum,” katanya.

Proses hukum tanpa melanggar hukum tampaknya disadari pemerintah yang hanya  melaporkan Setya Novanto ke Majelis Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Pemerintah tidak melaporkan perihal rekaman tersebut kepada aparat penegak hukum. Pemerintah, dalam hal ini Menteri ESDM Sudirman Said, menyadari jika perihal rekaman tersebut dilaporkan ke aparat hukum, maka Setya Novanto bisa menuntut balik. Alasannya, biar bagaimanapun, rekaman itu tidak bisa dijadikan bukti hukum.

“Jika bukti didapatkan tidak melalui proses hukum yang benar, maka pengadilan pun bisa menolak dan membatalkan bukti yang diajukan. Bahkan, bukan tidak mungkin pihak yang digugat bisa menuntut balik. Ini makanya saya lihat pemerintah pun enggan melaporkan ke aparat hukum dan hanya melaporkan ke MKD. Makanya Menkopolhukam pun buru-buru mengatakan presiden tidak akan memperpanjang dan melaporkan kasus ini,” ujar Guru Besar Hukum Tata Negara.

Asep lantas membandingkan kasus rekaman video artis Ariel Peterpan dengan beberapa wanita. Ariel dikenakan hukuman karena merekam tanpa izin dan penyebarnya juga dikenakan hukuman. Namun berbeda dengan Ariel, pihak wanita dalam video tidak dikenakan hukuman. Masalahnya, kata Asep, para wanita tersebut sejatinya hanya melanggar hukum agama atau hukum pernikahan . "Kalau pidananya adalah asusila, maka semua wanita yang terlibat juga harus kena juga saat itu. Ini nampaknya yang dikhawatirkan oleh si pelapor, merekam dan menyebarkan tanpa izin.,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement