Jumat 20 Nov 2015 15:09 WIB

Kasus Setnov Dianggap Masuk Kategori Pemerasan

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Esthi Maharani
Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM Hufron Asrofi (kanan) disaksikan Staff khusus Menteri ESDM Said Didu (tengah) menyerahkan bukti rekaman percakapan kepada Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan DPR Junimart Girsang di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, R
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM Hufron Asrofi (kanan) disaksikan Staff khusus Menteri ESDM Said Didu (tengah) menyerahkan bukti rekaman percakapan kepada Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan DPR Junimart Girsang di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, R

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik UGM Purwo Santoso menilai kasus pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wakil Presiden, Jusuf Kalla yang diduga dilakukan oleh Ketua DPR, Setya Novanto kepada PT Freeport Indonesia bisa dikategorikan sebagai pemerasan.

Menurutnya, publik lebih banyak terfokus pada pencatutan nama kepala negara. Padahal ada persoalan yang lebih besar dari pencatutan yakni pemerasan.

"Publik lebih fokus untuk mem-blow up pencatutan nama. Padahal ini pemerasan. Freeport berani merekam negosiasi informal itu karena mereka mengendus ada indikasi ke arah sana (pemerasan)," katanya, Jumat (20/11).

(Baca juga: Kasus Freeport, Kapolri: Jika Menghina, Perlu Lapor)

Ia tak tahu secara persis tujuan dari pemerasan atau negosiasi informal itu dilakukan. Tetapi, ia menduga ada kaitannya dengan biaya politik ke depan.

"Biaya politik itu tinggi, bisa saja dapat hasil pemerasan digunakan untuk biaya politiknya kedepan atau memang ini cara setnov untuk mendapatkan saham Freeport lebih banyak untuk Indonesia," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement