Kamis 19 Nov 2015 14:29 WIB

Tiga Skenario Setnov Mundur dari Ketua DPR

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Ilham
Ketua DPR Setya Novanto melakukan konferensi pers terkait pelaksanaan Ibadah Haji pimpinan DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (30/9).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A.
Ketua DPR Setya Novanto melakukan konferensi pers terkait pelaksanaan Ibadah Haji pimpinan DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (30/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Padjajaran (Unpad), Muradi mengatakan, ada tiga skenario yang bisa dijadikan jalur bagi Ketua DPR Setya Novanto turun dari posisi puncak kepemimpinan DPR. Pertama dari sisi moral politik, Setnov seharusnya sadar dan mengundurkan diri sebagai Ketua DPR menyusul dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dalam kontrak PT Freeport Indonesia.

“Harusnya malu dan mengundurkan diri. Minimal tidak lagi berada di jabatan sebagai ketua,” katanya kepada Republika.co.id, Kamis (19/11).

Kedua, dari konteks penegakan hukum. Kasus dugaan pencatutan nama Jokowi bisa saja diserahkan ke pihak berwajib. Tidak harus Jokowi sendiri yang harus melapor, melainkan diwakilkan oleh tim komunikasinya. Pelaporan ini bukan menyangkut Jokowi sebagai individu, tetapi Jokowi sebagai Presiden.

Ketiga, berkaitan dengan politik praktis. Mengingat jangkauan kekuasaan Jokowi sebagai Presiden tidak sampai pada Golkar, maka partai politik berlambang pohon beringin tersebut harus mengambil langkah sendiri bagi kadernya. “Yang harus dilakukan Golkar adalah melakukan kader-kader yang ada di DPR terutama Setnov, namun hal ini tidak dapat memaksa,” kata Muradi.

Menurut dia, jangkauan Presiden hanya mampu berada di segi penegakan hukum, bukan pada moral politik dan politik praktis. Moral politik bersifat personal, sedangkan politik praktis tegantung pada sensitivitas Golkar terhadap kasus tesebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement