REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Beberapa tokoh agama Kota Bogor, Jawa Barat, menyatakan masyarakat kotanya lebih toleran dalam menjaga kerukunan antarumat beragama dibandingkan daerah lain sehingga hasil survei Setara Institute mereka anggap tidak sepenuhnya tepat.
"Secara pribadi saya tidak setuju Bogor dinilai kota intoleransi. Kami hidup rukun," kata Endro Susanto, pastur Gereja Katedral Bogor, sekaligus Ketua Hubungan Antarumat Beragama Keuskupan, Selasa (17/11).
Romo Endro mengatakan, di Bogor ada Basolia sebagai wadah kerja sama antaragama dan itu berjalan dengan baik. "Kami juga mengadakan pelayanan dalam bidang kesehatan untuk 1.000 warga secara gratis. Setiap hari raya keagamaan kami saling mengunjungi untuk bersilaturahim," kata Endro.
Terkait GKI Yasmin, lanjut Romo Endro, harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Ia menilai masalah GKI Yasmin sangat kompleks terkait masalah internal dan eksternal.
"Tapi jangan masalah GKI Yasmin, lalu langsung digeneralisasi dikatakan Bogor itu intoleransi. Saya hanya berharap fungsi FKUB dimaksimalkan bukan hanya mengeluarkan rekomendasi rumah ibadah, tapi jadi jembatan untuk terwujudnya kerukunan di Kota Bogor," kata Romo Endro.
Romo Endro menambahkan, baginya kerukunan atau toleransi itu sebagai harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi untuk diwujudkan dimanapun.
"Toleransi baru akan terwujud dan berjalan baik bukan hanya kita bisa menerima persamaan. Tapi toleransi yang sesungguhnya adalah kita siap untuk menerima perbedaan. Pelangi dikatakan pelangi dan indah kalau terdiri dari berbagai warna," katanya.
Hal senada disampaikan Arifin Himawan salah satu pengurus Basolia di Kota Bogor yang juga tokoh masyarakat Tionghoa. Menurutnya, hasil survei yang menyatakan Bogor tidak toleransi bukanlah hal yang benar.
"Saya kira tidak seperti itu, Bogor sangat toleran terbukti dengan segala kegiatan keagamaan yang berjalan harmonis," katanya menerangkan.