Senin 16 Nov 2015 16:45 WIB

Peraturan Perpajakan tak Sinkron dengan UU, Investor Pun Kabur

Warga berkonsultasi tentang pajak di gerai layanan terpadu saat pembukaan Gerai Layanan Terpadu di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (1/9).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Warga berkonsultasi tentang pajak di gerai layanan terpadu saat pembukaan Gerai Layanan Terpadu di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (1/9).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Berbagai peraturan di daerah terkait dengan dunia usaha, khususnya pajak daerah perlu diselaraskan dengan perundang-undangan agar tidak tumpang tindih atau bertentangan satu sama lainnya.

“Banyak calon investor asing yang menjadi ragu untuk menginvestasikan dananya di Indonesia setelah melihat adanya pertentangan antara peraturan perpajakan di daerah dengan UU yang berlaku secara nasional,” ungkap pengamat dan praktisi hukum Dr Humphrey R. Djemat dalam rilisnya kepada Republika.co.id, Senin (16/11).

Contohnya, mengenai penerapan pajak air permukaan. Dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah telah diatur tarif pajak air permukaan maksimum sebesar 10 persen. Namun, di suatu daerah ternyata ditemukan penetapan tarif pajak air permukaan yang lebih besar.

Humphrey melanjutkan, peraturan yang mengenakan tarif pajak yang melebihi ketentuan UU tersebut bahkan hanya diatur dalam bentuk Peraturan Gubernur. Padahal, berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah seharusnya dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).

Menurut Humphrey, ada kesalahpahaman dimana seakan-akan peraturan yang diterbitkan oleh Gubernur (Pemerintah Daerah) merupakan Peraturan Daerah (Perda), padahal keduanya merupakan produk hukum yang berbeda.

Peraturan Gubernur merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur selaku eksekutif di daerah, sedangkan Perda merupakan Peraturan yang dibuat oleh DPRD bersama-sama dengan eksekutif (Gubernur).

“Oleh karena itu, setiap tindakan pejabat daerah yang memungut pajak air permukaan dengan mengacu pada Peraturan Gubernur, maka hal tersebut merupakan tindakan yang bertentangan dengan UU,” cetusnya.

Humphrey menambahkan, Peraturan Gubernur yang bertentangan dengan hukum (UU) dapat dibatalkan melalui mekanisme judicial review, karena sesuai dengan asas hukum lex superiori derogate lege inferiori, aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.

Praktisi hukum perpajakan Darneliwita juga menyatakan, pemungutan pajak terhadap masyarakat, baik orang maupun perusahaan, seharusnya didasarkan pada suatu peraturan yang dibuat bersama antara wakil rakyat daerah (DPRD) dengan eksekutif daerah.

“Oleh karena itu, pemungutan pajak yang didasarkan pada Peraturan Gubernur, bukan Perda sebagai hasil kesepakatan bersama antara DPRD dan Gubernur tidak dapat dibenarkan selain dapat mencederai rasa keadilan bagi masyarakat sebagai subjek pajak,” jelasnya.

Darneliwita juga menambahkan, apabila ada masyarakat yang merasa dirugikan terkait dengan penetapan hutang pajak yang didasarkan pada Peraturan Gubernur yang bertentangan dengan UU, maka masyarakat dapat mengajukan keberatan terhadap penetapan hutang pajak tersebut kepada pemerintah daerah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement