Senin 16 Nov 2015 12:25 WIB

Mencoblos Biar Terkesan Nyoblos

Rep: c12/ Red: Friska Yolanda
Seorang penyandang cacat menunggu pendataan saat simulasi pemilihan dan sosialisasi Pilkada, di Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (17/10).   (Antara/Yusran Uccang)
Seorang penyandang cacat menunggu pendataan saat simulasi pemilihan dan sosialisasi Pilkada, di Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (17/10). (Antara/Yusran Uccang)

REPUBLIKA.CO.ID, Wilayah Kabupaten Bandung begitu luas. Ada 31 kecamatan masuk ke dalam wilayah pimpinan Dadang M Naser ini. Jumlah itupun terhitung setelah Bandung Barat dimekerkan menjadi Kabupaten Bandung Barat (KBB). Dapat dibayangkan seperti apa luas Kabupaten Bandung sebelum ada pemekaran KBB.

Luasnya wilayah Kabupaten Bandung yang sekarang ternyata berimbas buruk pada keberlangsungan kehidupan masyarakatnya, terutama yang tinggal di wilayah perbatasan. Kecamatan Cimenyan salah satunya. Sejumlah warga pun merasa daerahnya terkucilkan karena tidak dipedulikan oleh sang kepala daerah.

Pengucilan oleh kepala daerahnya ini bahkan berdampak pada pemikiran warga terhadap pemilihan kepala daerah (pilkada) Kabupaten Bandung. Ya, warga menjadi apatis untuk ikut menyukseskan gelaran pesta demokrasi di kabupaten Bandung pada 9 Desember nanti.

Mereka malas nyoblos. Kalaupun mencoblos, yang mereka lakukan hanya formalitas agar dianggap antusias mengikuti pilkada.

"Enggak enak sama warga lainnya, jadi ngikutin warga aja," kata Asep, bukan nama asli, salah seorang warga Desa Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, baru-baru ini.

Pada pemilihan presiden 2014 lalu, Asep termasuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ia pun memutuskan untuk datang ke TPS dan masuk ke bilik suara. Namun, ia mengakui, itu hanya formalitas.

Sebab di balik bilik suara itu, ia melipat kembali lembar kertas yang bergambar calon-calon presiden dan wakilnya. Kertas tersebut pun dimasukan ke kotak suara, dan jari kelingkingnya diberi cat warna ungu sebagai tanda telah mencoblos. 

"Masuk (ke bilik suara), terus lipat lagi. Tapi itu pribadi saya. Enggak tahu yang lainnya," ujar dia.

Di pilkada Kabupaten Bandung tahun ini, Asep pun di ambang kegalauan. Betapa tidak, jika mencoblos, menurut dia, itu percuma. Sebab, bertahun-tahun desanya itu seolah terkucilkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung. "Warga di sini kecewa," ujarnya.

Lokasi desa Cibeunying, tutur dia, memang sangat jauh dari pusat pemerintahan kabupaten di Kecamatan Soreang. Daerahnya ramai dikunjungi calon pejabat hanya ketika mendekati waktu penyelenggaraan pemilihan umum. Setelah itu, desanya sepi dari pembangunan yang dijanjikan.

Kepedulian pemerintah terhadap daerah tersebut dirasa Asep sangat kurang. Misalnya dari sektor pendidikan, pelayanan, dan pembangunan infrastruktur. Karena tidak ada kepedulian dari pemerintah setempat, tidak sedikit warga di sana yang bakal golput. 

Namun, ada banyak cara agar kegolputan warga tidak diketahui. Mereka tetap datang ke TPS dan masuk ke bilik suara. Tapi, sebagian dari mereka melipat kembali kertas suara seperti Asep. Sebagian ada yang mencoblos semua pasangan calon.

Sebagian warga memilih terang-terangan untuk golput. Alih-alih ke TPS, warga pada hari pemilihan malah menggarap lahan.

Kekecewaan serupa disampaikan Roni, warga Desa Cibeunying lainnya. Ia mempunyai pengalaman pahit dengan pemilihan umum, karena namanya tidak terdaftar dalam DPT, sedangkan warga yang telah meninggal justru mendapat hak pilih.

Karena memiliki pengalaman seperti itu, Roni menjadi tidak terlalu antusias dengan pilkada Kabupaten Bandung. Apalagi, Roni tidak begitu mengenal calon bupati dan wakil yang akan bersaing dalam pilkada tahun ini. Satu-satunya calon yang diketahuinya hanya petahana Dadang M Naser.

"Tapi belum tentu mau nyoblos dia," ujar Roni.

Menurutnya, pembangunan Kabupaten Bandung terlalu terfokus pada wilayah Soreang dan sekitarnya. Pemkab Bandung, kata dia, melakukan program pembangunannya secara tidak merata. Akibat adanya ketidakmerataan ini, warga yang berada di pinggiran Kabupaten Bandung, harus susah-payah ke Soreang atau sekitarnya untuk mendapatkan pelayanan. Seperti saat mengurus KTP atau SIM kendaraan. "Serba jauh," keluhnya.

Selain soal pembangunan yang tidak merata, bahkan beberapa warga di Desa Cibeunying masih ada yang tidak mengetahui nama bupati Bandung saat ini. Aca Atang (60) dan Ai Rokayah (58), pasangan suami-istri asli Desa Cibeunying ini mengaku tidak mengetahui nama bupati Bandung saat ini. "Teu apal," kata Ai ketika rumahnya disambangi.

Ketua RT 06 RW 10 Kampung Awiligar Desa Cibeunying Cece Sugandi menuturkan, sebagian warganya sudah banyak yang mengetahui sosialisasi pilkada Kabupaten Bandung, baik itu dari segi waktu dan juga nama-nama paslonnya. Cece pun mengaku akan mencoblos pada hari pencoblosan nanti. 

Cece memutuskan untuk mencoblos salah satu paslon di pilkada Kabupaten Bandung, karena dijanjikan akan ada bantuan berupa pembangunan infrastruktur yang lebih baik dari saat ini. Bantuan itu sendiri, kata dia, akan ditujukan kepada kepentingan warganya. "Bantuan berupa besi dan lain-lain untuk pembuatan jalan-jalan di sini (Kampung Awiligar)," tutur dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement