REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Wakil Presiden RI Muhammad Jusuf Kalla mengatakan proses perdamaian Aceh adalah pelajaran karena terbangunnya rasa saling percaya antara para pihak berkonflik.
"Banyak pelajaran yang didapat dalam perdamaian dan proses penyelesaian konflik Aceh," kata Jusuf Kalla di Banda Aceh, Ahad (15/11).
Hal tersebut dikemukakan JK pada puncak peringatan 10 Tahun MoU Helsinki dan Perdamaian Aceh di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh. Puncak peringatan 10 Tahun MoU Helsinki dan Perdamaian Aceh turut dihadiri sejumlah menteri kabinet, Gubernur Aceh Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf.
Perdamaian Aceh terwujud setelah RI dan GAM menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepakatan bersama yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2015.
JK mengatakan proses penyelesaian konflik dan perdamaian Aceh membutuhkan waktu panjang. Perdamaian ini terwujud setelah kedua pihak, RI dan GAM sama-sama menyepakati perdamaian.
"Perdamaian ini ibarat pernikahan, di mana kedua belah pihak setuju. Perdamaian ini bisa berjalan setelah para pihak berkomitmen menjalankan kesepakatan secara bersama," kata JK.
Menurut JK, ada dua faktor kesuksesan perdamaian Aceh. Yakni secara politik dan militer. Dua faktor ini harus menunjang satu sama lain. "Kalau secara politik disetujui, tetapi militer tidak, tentu tidak mungkin perdamaian ini terwujud. Bagaimana terwujud kalau senjata terus menyalak," katanya.
Karena itu, JK mengajak semua elemen masyarakat Aceh menjaga, merawat, dan mengisi perdamaian yang sudah berlangsung selama 10 tahun tersebut.
"Jadikan perdamaian Aceh untuk proses pembelajaran bagi daerah berkonflik lainnya, baik di Indonesia, maupun di dunia. Perdamaian Aceh ini merupakan tanggung jawab semua pihak," kata JK.