REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat ekonomi dan marketing Universitas Padjadjaran Bandung Popy Rufaidah mengatakan, pemerintah harus menggenjot pariwisata syariah dengan menggandeng setidaknya lima unsur masyarakat. Upaya itu, kata dia, perlu dilakukan karena potensi Indonesia untuk menjadi pemain utama dunia dalam pariwisata halal atau wisata syariah begitu besar.
Menurut Popy, modal besar berupa kemenangan Indonesia di World Best Halal Travel Summit baru-baru ini harus segera ditindaklanjuti secara terarah, terstruktur dan komprehensif. Pemerintah, khususnya Kementerian Pariwisata dapat menggandeng peran lima pihak atau pentahelix seperti akademisi, bisnis, pemerintah, komunitas dan media, dalam mengakselerasi pengembangan destinasi halal Indonesia.
“Perlu langkah taktis untuk membangun kesadaran pasar (market awareness) wisata halal,” kata Popy yang juga direktur Program Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNPAD itu dalam keterangannya yang diterima ROL, Rabu (11/11).
Ia menilai, konsep halal tak sesederhana bagaimana memastikan makanan yang ada halal dan Islami, melainkan juga mempromosikan kesopansantunan, kebersihan, keselamatan, tingginya mutu produk dan jasa wisata yang ditawarkan, menjadi kesadaran bersama seluruh pemangku kepentingan.
Namun tentu saja hal itu membutuh waktu yang tidak singkat. “Strategi menggandeng lima pihak itulah yang menjadi strategi hingga memungkin adanya akselerasi,” kata Popy. Popy mencontohkan Malaysia yang kini menjadi salah satu destinasi halal terkemuka di dunia.
Menurut dia, Untuk mencapai posisi saat ini dan menerima kunjungan setidaknya 6,1 juta turis pecinta wisata halal, Malaysia telah memulainya sejak 2009. Hal itu ditandai dengan didirikannya Pusat Pariwisata Islami (Islamic Tourism Centre/ITC).
“ITC itu awalnya melakukan berbagai hal, seperti penelitian pariwisata strategis, market inteligence, dan penyediaan jasa pelatihan dan pengembangan kapasitas pengelola pariwisata halal,” kata Popy. Kini, lembaga itu telah melahirkan sejumlah pedoman teknis penyelenggaraan wisata halal, misalnya saja Pedoman Standar Pelayanan Islami pada industri pelayanan (hospitality industry).
Hal lain, ITC pula yang mampu menawarkan hal-hal sederhana dengan pengemasan berstandar internasional. Misalnya membuka paket-paket untuk wisatawan non-Muslim yang ingin mempelajari acara-acara keagamaan dan mengunjungi masjid-masjid bersejarah di Malaysia. Itulah sebabnya, negeri itu menyediakan kemudahan berupa buku panduan berbahasa Inggris untuk diunduh wisatawan mancanegara yang tertarik mengikuti acara Ramadhan in Malaysia, Ramadan Bazaar, Ramadan Buffet, Ramadan Local Festivals, Imsyak Iftar dan sebagainya.
Belum lagi panduan semacam Muslim Friendly Guide and Guide to Islamic Festival in Malaysia, atau menampilkan infographic snapshot berisi data jumlah mesjid (disertai lokasi GPS), restauran tersertifikasi halal, total perusahaan penerbangan dari negara Islam, produk bermerek global tersertifikasi halal, dan daftar agen perjalanan yang menawarkan paket perjalanan wisata halal dan sebagainya.
“Percepatan untuk mencapai semua itu dimungkinkan melalui kerja sama alias gotong royong semua pemangku kepentingan pariwisata,” kata Popy. Di lapangan, sebenarnya kerja sama untuk menggenjot Indonesia sebagai destinasi wisata halal terbuka luas.