Rabu 11 Nov 2015 12:03 WIB

'Pengadilan Peristiwa 1965 Cukup di Indonesia'

Monumen Pancasila Sakti simbol peringatan terhadap pahlawan yang gugur dalam gerakan 30 September 1965
Foto: Alumni Sejarah Unpad
Monumen Pancasila Sakti simbol peringatan terhadap pahlawan yang gugur dalam gerakan 30 September 1965

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR, Masinton Pasaribu mengatakan pengadilan hak asasi manusia peristiwa 1965, cukup dilakukan di Indonesia. Menurutnynya, pengadilan tersebut tidak perlu digelar di Belanda.

"Pengadilan HAM cukup dilakukan di Indonesia saja karena menyangkut kedaulatan hukum Indonesia," katanya di Jakarta, Rabu (11/11).

Menurutnya, pemerintah Indonesia harus terus memfasilitasi dialog untuk pengungkapan kebenaran dan keadilan dalam rangka pelurusan sejarah tahun 1965. Langkah itu, kata politikus PDIP tersebut, juga untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada periode 1965-1967.

"Sementara itu, langkah rekonsiliasi masih jalan di tempat," ujarnya.

Baca: Pembantaian Komunis, Indonesia 'Diadili' di Belanda

Sebelumnya, pengadilan rakyat atau "International People's Tribunal" menyatakan kejahatan kemanusiaan di Indonesia pada 1965 digelar di Den Haag, Belanda dari Selasa-Jumat (10-13 November 2015). Anggota panitia pengadilan rakyat, Reza Muharam menyebutkan pengadilan itu digelar untuk membuktikan terjadinya pembunuhan besar-besaran atau "genosida" selama periode 1965 hingga 1966 yang selama ini tidak pernah diakui negara.

Menurut dia, persidangan akan diikuti tujuh hakim berlatar kalangan akademisi, pegiat hak asasi manusia, dan praktisi hukum, termasuk mantan hakim mahkamah kriminal internasional untuk Yugoslavia. Para hakim itu menurut dia, akan menguji alat bukti yang memuat keterangan 16 saksi peristiwa 1965 sekaligus data yang disusun sejumlah peneliti Indonesia maupun mancanegara.

Terdapat sembilan dakwaan yang akan diuji panel hakim dalam sidang tersebut antara lain pembunuhan massal, penghilangan paksa, penyiksaan, dan kekerasan seksual pascameletusnya peristiwa 30 September 1965. Reza mengatakan pengadilan itu tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, dan yang digugat adalah tanggung jawab negara serta tidak ada gugatan terhadap individu maupun organisasi tertentu.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement