REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dinilai perlu mengklarifikasi tudingan adanya penggelontoran dana sebesar 80 ribu dolar AS untuk membayar jasa lobbyst di Las Vegas. Hal tersebut dirasa perlu agar pemerintah terhindar dari preseden buruk, terutama di mata rakyatnya.
"Pihak istana dan Kementerian Luar Negeri perlu menjelaskan ini," ujar Wakil Ketua Komisi I DPR, Tantowi Yahya kepada Republika.co.id, Senin (9/11).
Namun pria kelahiran Palembang, Sumatra Selatan, 29 Oktober 1960 tersebut yakin bahwa pertemuan Presiden RI Joko Widodo dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama diatur secara profesional oleh Kemenlu dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Washington DC. (baca: Pemerintah Perlu Klarifikasi Kunjungan Jokowi)
Keyakinan Tantowi tersebut didasarkan pada pertemuannya dengan Duta Besar AS di Indonesia, Robert O Blake, beberapa hari sebelum lawatan Jokowi ke AS. Meski begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa pertemuan-pertemuan lain dengan pihak swasta, misalnya pengumpulan media diatur oleh lobbyist.
"Karena itu memang lazim dilakukan dan di Amerika itu legal," kata dia.
Dalam konteks hubungan bilateral, kata Tantowi, AS cukup membutuhkan Indonesia. Untuk itu, cenderung mengherankan apabila Indonesia disebut-sebut menggunakan jasa broker untuk bisa bertemu orang nomor satu di Negeri Paman Sam tersebut.
Pemantik kabar penggunaan jasa broker adalah tulisan seorang dosen Ilmu Politik Asia Tenggara di School of Oriental and African Studies di London, Michael Buehler, berjudul //Waiting in The White House Lobby//. Tulisan tersebut terdapat dalam laman http://asiapacific.anu.edu.au//. Menurut Buehler, pemerintah Indonesia membayar konsultan Pereira International PTE LTD dari Singapura dan konsultan PR di Las Vegas, R&R Partners, Inc agar bisa bertemu Obama.
Baca Juga: Ini yang Harus Diklarifikasi Istana dalam Kunjungan Jokowi