Senin 09 Nov 2015 14:35 WIB

DPR: Indonesia Negara Besar tak Perlu Jasa Broker untuk Presiden

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Bilal Ramadhan
Presiden Jokowi bertemu Presiden AS Barack Obama.
Presiden Jokowi bertemu Presiden AS Barack Obama.

REPUBLIKA.CO.ID,‎ JAKARTA -- Saat ini, pemerintah Indonesia dilanda isu tidak sedap terkait tudingan penggunaan jasa broker untuk bisa bertemu orang nomor satu Amerika Serikat (AS), Barack Obama.

Penggunaan jasa broker memang kerap dipakai oleh pihak swasta yang mempunyai kepentingan besar terhadap pejabat di Amerika Serikat (AS). Namun apabila hubungan yang terjalin adalah antarnegara, maka penggunaan jasa broker dinilai tidak diperlukan.

"Apalagi negara kita adalah negara besar dimana pemerintah AS sekalipun mempunyai kepentingan besar terhadap Indonesia," ujar anggota Komisi I DPR, El Nino M Husein Mohi kepada Republika.co.id, Senin (9/11).

(Baca: Penggunaan Jasa Broker Mempermalukan Bangsa)

Politikus Partai Gerindra tersebut mengatakan yang dapat dilakukan dalam hubungan antarnegara yang ingin mengadakan pertemuan resmi adalah negosiasi jauh-jauh hari sebelumnya. Negosiasi tersebut mencakup apa yang akan dibahas kepala negara dan kira-kira apa hasil pembahasannya.

Jika kedua hal tersebut sudah disepakati, maka barulah pertemuan bisa dijadwalkan. Menurut dia, pertemuan antarkepala negara adalah simbol dan juga bentuk publikasi bahwa kedua negara tersebut sudah bersepakat untuk beberapa hal, termasuk dalam hal kerja sama.

"Jadi, kalau kita pakai jasa lobbyist untuk bertemu Obama, maka berarti diplomat kita cukup lemah dalam menjalankan tugas diplomasinya," kata El Nino.

(Baca: Penggunaan Jasa Broker dalam Pertemuan Jokowi-Obama Harus Ditelusuri)

Merebaknya kabar penggunaan jasa broker bermula ketika seorang dosen Ilmu Politik Asia Tenggara di School of Oriental and African Studies di London, Michael Buehler, menerbitkan artikel berjudul Waiting in The White House Lobby.

Jurnalis senior Benjamin Bland pun melalui Twitter pribadinya menuding bahwa konsultan PR Singapura membayar 80 ribu dolar AS kepada perusahaan PR Las Vegas untuk melobi agar pemerintah Indonesia mendapatkan kesempatan dan akses ke Washington.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement