Ahad 08 Nov 2015 19:03 WIB

Pelecehan oleh Raffi Ahmad

Arif Supriyono
Foto: dok pribadi
Arif Supriyono

Oleh: Arif Supriyono

Wartawan Republika

Ejekan artis Raffi Ahmad membuat sebagian pihak meradang. Mereka mengecam ulah yang ditampilkan pesinetron dan pembawa acara kocak itu dalam sebuah program di televisi swasta.

Pada 1 November lalu, saat mengisi acara bernuansa humor di televisi, Raffi memerankan diri sebagai seorang wartawan. Dalam salah satu adegan, Raffi yang baru saja punya anak itu melontarkan pernyataan tentang cara mangkus menghindari dari kejaran wartawan.

"Kalau wartawan lagi ngeriung (kumpul), lagi mengejar berita, giniin saja (lempar) duitnya. Wartawan kan, setiap orang kan mata duitan. Wartawan ke sana, gua ke sini," kata Raffi setelah tangannya melempar uang pecahan recehan.

Sehari setelah acara itu, kelompok yang menamakan diri Forum Wartawan Hiburan (Forwan) dan Poros Wartawan Jakarta (PWJ) langsung menyampaikan protes dan kecamannya. Candaan Raffi dianggap menghina profesi wartawan.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun bereaksi. Lembaga ini mengeluarkan teguran kepada stasiun televisi pengelola acara tersebut. Di mata KPI, guyonan itu dinilai telah melecehkan profesi wartawan.

Di kalangan wartawan hiburan, baik cetak maupun elektronik, sosok Raffi memang teramat populer. Begitu seringnya dia menghiasi pemberitaan rubrik atau kolom hiburan.

Sebaliknya, sangat jarang Raffi muncul dan menghiasi pemberitaan di luar topik hiburan. Wartawan nonhiburan pun rasanya hampir tak pernah menjadikan Raffi sebagai narasumber dalam berita-berita berkategori serius.

Berkaca dari hal itu, sangat boleh jadi candaan Raffi itu terkait dengan pengalamannya selama ini yang senantiasa menjadi narasumber penting dan sering dikejar-kejar media atau wartawan dari dunia hiburan. Jadi, bukan tidak mungkin candaan yang muncul dari Raffi itu terinspirasi oleh perilaku para wartawan dari media hiburan.

Jamak saja jika kemudian kelompok wartawan dari media hiburan yang langsung bereaksi atas guyonan Raffi tersebut. Lantas bagaimana perilaku wartawan dari media nonhiburan?

Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa sebagian wartawan nonhiburan juga memiliki perilaku yang serupa dengan rekannya dari media hiburan. Memang ada beberapa wartawan dari media-media tertentu yang begitu teguh memegang kode etik jurnalistik sehingga menolak segala bentuk pemberian dari narasumber atau pihak pemilik acara.

Apalagi, kalau mereka yang menamakan dirinya wartawan nonhiburan itu berasal dari media abal-abal (tak jelas). Sudah bisa dipastikan, orientasi kerja mereka bukanlah mencari berita akan tetapi lebih untuk mendapatkan amplop/uang.

Saya pernah punya pengalaman yang benar-benar memprihatinkan. Kebetulan saya menjadi pengurus sebuah organisasi nirlaba. Kala itu kami akan mengadakan acara di Kementerian Perindustrian. Saat hari H, kami ingin agar acara itu mendapat liputan media dan terpublikasi.

Untunglah ada staf humas kementerian yang membantu dan memperkenalkan saya pada wartawan yang biasa meliput di kementerian tersebut. Saya pun memperkenalkan sebagai seorang wartawan yang kebetulan menjadi pengurus organisasi nirlaba. Saya lalu memohon dengan sangat atas kesediaan rekan-rekan wartawan untuk meliput acara kami yang juga dihadiri oleh menteri.

Senangnya bukan main ketika saya mendengar jawaban kesediaan mereka. Namun, kegembiraan itu hanya sesaat. Tak berapa lama, betapa terkejutnya saya mendengar ucapan (koordinator) wartawan itu.

Tanpa rasa sungkan dan tanpa tedeng aling-aling, sang wartawan itu mananyakan pada saya. ”Kami nanti per orang mendapat berapa, Pak?” tanya wartawan muda dari sebuah kantor berita itu.

Seketika saya tercekat dan tak bisa menjawab. Segera saja saya memanggil teman saya di organisasi kami yang selama ini selalu berhubungan dengan wartawan. Terus terang saja, saya memang tak terbiasa mengurusi tetek bengek wartawan seperti itu.

Di ruangan lain, saya tak habis berpikir dan merenung, wartawan sekarang ternyata jauh lebih lugas dibanding dulu. Mereka bisa begitu terus terang meminta imbalan duit kepada pihak penyelenggara acara. Padahal, sejak awal saya sudah memperkenalkan diri sebagai seorang wartawan. Tentu antara lain upaya saya memperkenalkan diri itu dengan maksud, agar para wartawan segan bila mereka punya niat untuk minta-minta amplop.

Nyatanya saya kecele. Tak ada nada takut atau sungkan sama sekali dari mereka. Tak ada lagikah idealisme dan kebanggaan menjadi wartawan pada diri anak muda sekarang? Apakah profesi wartawan juga sudah terjangkit oleh gaya hidup masyarakat pada umumnya yang ingin bisa secepatnya menjadi orang kaya?

Wartawan muda ini pun sudah berani memasang tarif tertentu. Hal ini memaksa teman saya untuk bernegosiasi, karena angka yang mereka sebutkan terlalu tinggi.

Melihat fenomena seperti ini, saya kira sudah saatnya bagi Dewan Pers untuk lebih tegas bersikap terhadap pemberian amplop dari narasumber atau pengundang pada wartawan. Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dengan tegas menyebutkan, bahwa wartawan Indonesia tidak menerima suap. Dalam penafsiran KEJ tertera kalimat, bahwa segala pemberian dalam bentuk uang, benda, atau fasilitas lain yang memengaruhi independensi wartawan adalah suap.

Inilah kesempatan terbaik bagi Dewan Pers untuk menegakkan aturan yang menjadi pedoman wartawan. Tugas Dewan Pers untuk memanggil tiga asosiasi wartawan yang secara sah diakuinya, yakni Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Kepada tiga lembaga itu Dewan Pers perlu mengingatkan kembali agar mereka memegang teguh kode etik. Sedangkan ketiga organisasi wartawan itu juga perlu meneruskan kewajiban menolak amplop itu kepada wartawan yang menjadi anggotanya, tentu harus disertai sanksi bagi pelanggarnya.

Tanpa itu, wibawa dan martabat wartawan akan kian melorot dan tak ada harganya di mata masyarakat luas. Belum lagi ulah wartawan dan media abal-abal yang sudah sangat meresahkan serta memuakkan sehingga mengganggu aktivitas lembaga-lembaga resmi pemerintah dan swasta.

Tindakan pelecehan yang dilakukan Raffi Ahmad terhadap insan pers ini mungkin bisa menjadi titik balik untuk mengangkat kembali wibawa wartawan sebagai pilar keempat bagi berdiri tegaknya sendi-sendi demokrasi. Kita boleh mengritik tindakan Raffi Ahmad, tetapi instropeksi diri akan jauh lebih bermanfaat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement