Jumat 06 Nov 2015 10:01 WIB

ICW: Penegak Hukum Harus Intai Trader Gas

 Aktivitas pengisian bahan bakar minyak ke dalam tangki minyak di Depo Pertamina Plumpang, Jakarta, Senin (30/3).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Aktivitas pengisian bahan bakar minyak ke dalam tangki minyak di Depo Pertamina Plumpang, Jakarta, Senin (30/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Divisi Monitoring dan Analisa Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas, meminta lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, hingga Polri, lebih serius menangani berbagai dugaan penyalahgunaan di sektor migas. Termasuk juga dugaan penyalahgunaan yang dilakukan Pertamina dan para trader gas.

Sebab, menurut dia, seringkali para trader gas hanya berbekal kedekatan politik saja, tanpa memiliki infrastruktur, kemudian tanpa berkeringat, bisa seenaknya masuk ke bisnis migas. "Sektor energi dalam arti pengembangan yang berindikasi menjadi kasus, masih terbatas," ujar Firdaus saat dihubungi wartawan, Kamis (5/11).

Penegak hukum, menurut Firdaus, harus memberi perhatian lebih pada penyimpangan sumber daya alam, termasuk sektor migas. "Sayangnya, KPK saja sampai sekarang masih di sisi pencegahan, sementara Kejaksaan dan Kepolisian jauh tertinggal," kata Firdaus.

Firdaus berkata, penegak hukum harus jeli melihat berbagai kontrak atau jual beli migas. Terutama yang melibatkan Pertamina dan para trader gas yang tidak memiliki infrastruktur.

Saat ditanyakan ada pola penjualan gas yang dilakukan PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya, seperti PT Pertamina EP dan PT Pertagas, yang melibatkan sejumlah trader dan berujung harga di end user menjadi sangat mahal dan keuntungannya dinikmati trader, menurut Firdaus hal itu membuktikan ada praktik tak sehat di bisnis Migas.

"Lucu jika dari Pertamina EP kemudian dijual ke Pertagas kemudian menjual lagi ke broker gas. Seharusnya sesuai skema bisnis umum saja, dari Pertamina EP ke Pertagas trus langsung ke end user atau konsumen," kata Firdaus.

Dalam dokumen 'Pengaturan Harga Gas' yang dikeluarkan BPH Migas pada Oktober 2015, yang salinannya kini tersebar mencontohkan praktek trader gas bertingkat di Bekasi, Jawa Barat. Sumber gas di Bekasi yang berasal dari PT Pertamina EP, anak usaha Pertamina, pertama kali dijual kepada PT Pertamina Gas (Pertagas).

Pertagas lalu menjual gas tersebut kepada PT Odira sebagai pemasok/ trader pertama yang lalu menjual kembali gas tersebut ke trader berikutnya, yaitu PT Mutiara Energi dengan harga 9 dolar AS per MMBtu. Lalu, Mutiara Energi mengalirkan gas menuju trader berikutnya, yaitu PT Berkah Usaha Energi, dengan menggunakan pipa 'open access' milik Pertagas (pipa 'open access' Pertagas berdiameter 24 inchi sepanjang 78 km) dengan membayar 'toll fee' sebesar 0,22 dolar AS per MMBtu.

Selanjutnya, Mutiara Energi menjual ke trader berikutnya, yaitu PT Berkah Utama Energi seharga 11,75 dolar AS per MMBtu. Di sini sudah terjadi selisih harga sebesar 2,75 dolar AS per MMBtu. Firdaus berharap, agar penegak hukum jeli melihat kontrak jual beli migas agar tidak ada penyimpangan.

Dalam melihat penyimpangan, dilihat betul apakah isu perdata dalam hal ini perikatan kontrak bermasalah atau ada cukup kuat pidananya. Jika kuat pidana, maka penegak hukum tidak perlu ragu mengusut.

"Kalau tidak diperbaiki akan semakin parah. Itu mesti diberantas. Orang tidak punya kemampuan, kemudian main di industri gas berbekal portofolio politik," imbuh dia.

Ia mengingatkan, jika distribusi gas dimiliki mereka yang memiliki relasi kekuasaan kuat, bahkan sebagian besar mereka yang ada di partai politik, maka makin susah ada efisiensi. "Ke konsumen mahal, negara tidak mendapat maksimal. Padahal ini sektor energi primer, ujungnya juga bisa menambah laju inflasi. Industri juga seperti industri baja, petrokimia, keramik dirugikan karena harga gas jadi mahal akibat ulah trader gas abal abal," kata dia mengakhiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement