REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty harus diatur dalam Undang-Undang. Namun, hingga saat ini kebijakan tax amnesty itupun belum dibicarakan di DPR.
"Ya kan itu harus berbentuk undang-undang kan. Itu belum dibicarakan di DPR. Mungkin dibicarakan pada sidang yang akan datang kan," kata Kalla di kantor Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (5/11).
JK pun menilai pemerintah perlu berupaya keras agar target penerimaan pajak dapat terpenuhi pada tahun depan. Ia juga optimistis kebijakan ini dapat mendorong meningkatkan penerimaan pajak.
"Inikan ada 2, ada revealuasi aset ini juga bisa menambah penerimaan pajak dan juga disamping upaya lain yang biasa, disamping tax amnesty. Tapi itukan (tax amnesty) cuma sekali saja. Selanjutnya akan meningkatkan volume perdagangan," jelas Kalla.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito menegaskan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty akan diberlakukan tahun depan. Bahkan, target penerimaan pajak dalam RAPBN 2016 Rp 1.350 triliun sudah memperhitungkan potensi penerimaan dari tax amnesty.
Sigit mengatakan, potensi penerimaan pajak dari tax amnesty sangat besar dan akan membantu mengejar penerimaan tahun depan. Dia memperkirakan, dana-dana yang selama ini banyak diparkir di luar negeri akan mengalir ke dalam negeri sebesar Rp 2.000 triliun.
Selain itu, ia juga memastikan bahwa tax amnesty hanya mencakup pengampunan pidana pajak, tidak mencakup pengampunan untuk pidana umum lainnya.
Mekanisme pengampunan pajak, kata dia, akan dilakukan dengan membayar semacam uang tebusan bagi wajib pajak yang selama ini melakukan penghindaran pajak.
Tarif tax amnesty ditetapkan secara berjenjang. Jika wajib pajak mengajukan pengampunan pada semester I 2016, maka tarif yang harus dibayar sebesar tiga persen. Sedangkan di semester II 2016, tarifnya naik menjadi enam persen.