REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Surya Candra Surapaty menyebut pendidikan reproduksi bentuknya tak mesti dalam pengajaran di sekolah. Justru pengajaran yang efektif dapat dilakukan oleh keluarga.
"Jadi pemikirannya jangan formalistik. Sebab ketika dijadikan bentuk pengajaran khusus di sekolah butuh perubahan sistem pengajaran lagi," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id Kamis (5/11). Otomatis, kata dia, secara implementasi sulit untuk dilakukan.
Surya menjelaskan justru peran keluarga bisa lebih dioptimalkan. Dimana nilai pelajaran tentang reproduksi dapat dimulai dari sini. Sebab ini adalah lingkaran terkecil dari lingkungan anak. Ditambah lagi penyampaian yang dilakukan orang tua cenderung lebih bisa diterima oleh anak.
"Nah mulai sekarang mesti dirubah mindsetnya. Orang tua jangan takut dan sungkan berbicara tentang seks pada anak. Sepanjang sifatnya edukasi yang positif, maka itu tidak mengapa," kata dia menegaskan.
Namun Ketua Komnas PA, Aris Merdeka Sirait menyatakan ketidaksepakatannya. Sebab mayoritas orang tua saat ini masih menganggap tabu berbicara tentang seks. Terkhusus spesifik mengajak anak mengenali organ reproduksinya.
"Misal ketika orangtua berbicara tentang alat reproduksi ke anak pasti pakai istilah tertentu. Padahal dua kosakata itu sifatnya ilmiah dan tak mengandung unsur pornografi," jelasnya.
Makanya dirinya tetap mendorong pendidikan reproduksi diselenggarakan di Indonesia. Yakni diterapkan di SD dan SMP. Sebab sulit jika hanya mengandalkan orang tua semata. Dimana budaya malu dan tabu masih begitu kental.
Sebelumnya MK menolak permohonan uji materi Pasal 37 Ayat 1h Undang Undang No 20 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dimana pemohon, yakni Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menginginkan pendidikan reproduksi masuk dalam pendidikan jasmani dan olahraga di tingkat SD dan SMP.