REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi menilai, berdasarkan pertimbangan, tidak ada hak konstitusional pemohon yang dirugikan dengan berlakunya Pasal 37 ayat (1) huruf h UU 20/2003.
Sehingga, dengan sendirinya tidak ada hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian tersebut.
"Dengan demikian, pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo," kata hakim MK, Aswanto di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (4/11).
Menurut Mahkamah, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional juga bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
"Adalah sudah menjadi hak dan kewajiban bagi warga negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berperan mewujudkan tujuan pendidikan nasional dimaksud," ucap Aswanto.
Mahkamah menilai, banyaknya terjadi kekerasan seksual bukan semata-mata disebabkan dari kurang atau bahkan tidak adanya pendidikan kesehatan reproduksi. Tetapi, faktor lingkungan dan faktor yang berasal dari dalam diri para pemohon itu sendiri adalah alasan utamanya.
Belum lagi, kurangnya pengawasan baik dari orangtua maupun masyarakat di sekelilingnya, juga memiliki andil besar terjadinya kekerasan tersebut.
"Seandainyapun pendidikan kesehatan reproduksi dicantumkan dalam kurikulum nasional, tidak berarti kerugian konstitusional akan atau tidak lagi terjadi," kata Aswanto.