Rabu 04 Nov 2015 18:00 WIB

Jadi Daerah Lumbung Padi, Tapi Warga Miskinnya Banyak

Rep: Lilis Handayani/ Red: Nidia Zuraya
Pendataan Warga Miskin (ilustrasi)
Foto: Republika
Pendataan Warga Miskin (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Angka kemiskinan di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, masih tinggi. Padahal, selama ini Kabupaten Indramayu menjadi salah satu daerah lumbung padi di Indonesia.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Indramayu, Suhardono menyebutkan, berdasarkan data Susenas Jabar 2013, angka kemiskinan di Kabupaten Indramayu pada 2013 mencapai 14,99 persen. Padahal, target angka kemiskinan yang ditetapkan Pemerintah Pusat hanya delapan sampai sepuluh persen.

''Kalau dibandingkan dengan target Pemerintah, maka angka kemiskinan di Kabupaten Indramayu yang masih 14,99 persen ini tinggi,'' ujar Suhardono, saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (4/11).

Suhardono mengatakan, jika dibandingkan dengan daerah lainnya di Jabar, maka angka kemiskinan Kabupaten Indramayu itu menempati posisi kedua tertinggi. Sedangkan daerah yang akan kemiskinannya tertinggi di Jabar adalah Kota Tasikmalaya.

Suhardono mengakui, meski angka kemiskinan di Kabupaten Indramayu tinggi, namun sudah mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2011, jumlah penduduk miskin mencapai 16,01 persen, dan pada 2012 sebanyak 15,14 persen. Sedangkan untuk data 2014, masih dalam proses penghitungan.

Suhardono mengakui, Kabupaten Indramayu selama ini memang dikenal sebagai daerah lumbung padi nasional. Namun, angka kemiskinannya ternyata relatif lebih tinggi dibandingkan daerah lain.

Menurut Suhardono, meski Kabupaten Indramayu menjadi lumbung padi, namun sebagian besar petaninya berstatus sebagai buruh tani dan petani penggarap. Berdasarkan data dari kantor desa melalui kegiatan pendataan potensi desa pada 2014, jumlah keluarga yang anggota keluarganya menjadi buruh tani mencapai 38,32 persen dari 571.180 keluarga di Kabupaten Indramayu. 

Selain buruh tani dan petani penggarap, adapula petani yang kepemilikan lahannya hanya kurang dari 0,5 hektare atau yang dikenal dengan istilah petani gurem. Bila dilihat dari segi ekonomi, petani gurem tidak dapat meningkatkan perekonomian dan taraf hidupnya. Pasalnya, biaya yang dikeluarkan belum sebanding dengan hasilnya.

''Kalau untuk lahan pertanian yang luas, hanya dimiliki segelintir orang,'' terang Suhardono.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement