Selasa 03 Nov 2015 21:09 WIB

Fasilitas Minim Sebabkan Angka Partisipasi Anak Berkebutuhan Khusus Rendah

Rep: C13/ Red: Winda Destiana Putri
Siswa tunanetra
Siswa tunanetra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Aria Indrawati mengaku bahwa angka partisipasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) masih rendah hingga kini.

Ada hal-hal yang menyebabkan hal ini bisa terjadi, salah satunnya, yakni fasilitas yang minim.

“Fasilitas yang diberikan negara untuk mereka masih sangat terbatas,” ujar Aria kepada Republika, Selasa (3/11). Selain itu, kesadaran menyekolahkan ABK oleh orangtua juga masih belum terlalu baik.

Berkenaan dengan fasilitas yang minim, Aria mencontohkan fasilitas untuk anak tunanetra. Sejauh ini, buku khusus untuk anak tunanetra sangat terbatas.

Selain itu, Aria mengungkapkan sekolah untuk anak disabilitas yang multi atau ganda juga masih sangat kurang. Sepengetahuan dia, tidak sampai 10 sekolah untuk anak ini. Jumlah ini juga dinilai hanya ada di wilayah Pulau Jawa dengan status swasta, bukan negeri.

Aria juga mengatakan, guru pembimbing khusus untuk anak-anak ini juga sangat terbatas. Rekrutmen untuk guru ini masih belum diterapkan secara signifikan oleh pemerintah.

Kemudian, Aria juga berpendapat realisasi terwujudnya sekolah inklusif belum jelas hingga kini. Padahal, pendidikan inklusif sudah dikenalkan di negeri ini sejak 1987.

Menurut Aria, pendidikan itu hak untuk semua masyarakat termasuk ABK. Namun hingga kini ia mengaku belum mendengar kebijakan khusus pemerintah untuk mereka pada saat ini. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kebanyakan untuk anak-anak normal.

Aria menyarankan agar pemerintah bisa membuat gerakan ‘Ayo Sekolah untuk ABK!’. Gerakan ini mengupayakan agar seluruh ABK bisa mengenyam pendidikan pula. Selain itu, pemerintah juga perlu menyiapkan sekolah regular yang menerima ABK, bukan Sekolah Luar Biasa (SLB).

“Karena SLB itu lebih menangani anak yang lebih kompleks,” ujar Aria.

Selain itu, Aria berpendapat agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bisa melakukan kerjasama dengan kementerian lain. Kemendikbud bisa kerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait kebijakan otonomi dalam mengatur sekolah-sekolah di kabupetan/kota.

“Harus bersinergi antara pusat dan daerah meski ini bukan tanggungjawab langsung pemerintah pusat,” terang dia.

Pemerintah juga perlu melakukan kerjasama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenpanRB). Kerjasama ini berkenaan dengan perekrutan guru terutama untuk guru ABK.

“Guru pembimbing khusus ABK sangat dibutuhkan,” jelas dia.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud, Hamid Muhammad mengatakan angka partisipasi bersekolah anak berkebutuhan khusus (ABK) masih rendah hanya sebesar 10-11 persen dari jumlah total 1,6 juta anak berkebutuhan khusus di Tanah Air.

"Dari 1,6 juta ABK di Indonesia, baru 164 ribu anak yang mendapat layanan pendidikan. Angka partisipasinya berarti 10 -11 persen saja," kata Hamid.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement