Senin 02 Nov 2015 05:35 WIB

Formappi: DPR Masih Sibuk Tugas Sampingan

Rep: Agus Raharjo/ Red: M Akbar
Direktur Lingkar Madani (lima) Ray Rangkuti (kanan) bersama Direktur Indonesia Budget Center, Roy Salam (kiri) dan Peneliti dari Formappi, Lucius Karus (tengah) memberikan pemaparannya saat berdiskusi dihadapan media di Jakarta, Jumat (21/8).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Direktur Lingkar Madani (lima) Ray Rangkuti (kanan) bersama Direktur Indonesia Budget Center, Roy Salam (kiri) dan Peneliti dari Formappi, Lucius Karus (tengah) memberikan pemaparannya saat berdiskusi dihadapan media di Jakarta, Jumat (21/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) menilai DPR masih mendapatkan rapor merah untuk fungsi dan tugas pokok mereka. Terutama terkait fungsi legislasi atau membuat Undang-undang. Peneliti Formappi, Lucius Karus, mengatakan di masa sidang tahun 2015 ini kinerja DPR melempem untuk membuat UU.

Bahkan, DPR cenderung hanya berkutat pada masalah yang sifatnya sampingan. Padahal fungsi pokok dari DPR adalah untuk legislasi, penganggaran dan pengawasan. “Kinerja mereka melempem karena kesibukan DPR justru terkait dengan tugas-tugas sampingan,” kata Lucius pada Republika.co.id, Ahad (1/11).

Hal itu terlihat dari dibentuknya panitia khusus (pansus) Pelindo II dan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla). Di dua pansus tersebut, menurut Lucius, DPR seperti mengekor isu yang saat ini hangat di ruang publik. Pembentukan pansus dinilai tidak melalui pertimbangan dan motivasi yang matang. (Baca Juga: Kinerja DPR Sekarang Dinilai Terburuk Selama Era Reformasi)

Dengan kata lain, imbuh dia, dua pansus tersebut bukan muncul dari sebuah proses kontrol sistematis yang dilakukan DPR dalam kerangka pengawasan. Justru nuansa politis lebih kental ketimbang keinginan untuk melakukan perubahan. Lucius menegaskan, hal itu menciptakan ruang bagi munculnya transaksi ketika pengawasan yang dilakukannya dominan motivasi politis.

Hampir di penghabisan tahun 2015, catatan baik yang ditunjukkan DPR hanya pengesahan APBN 2016. Meskipun, dalam proses pengesahan APBN ini terdapat banyak catatan. Sebab, APBN 2016 dinilai gagal menyerap aspirasi publik yang menolak membangun gedung baru dan alun-alun demokrasi.

Selain itu, strategi pencairan Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan persetujuan DPR berpotensi memunculkan transaksi antara DPR dan Pemerintah Daerah (Pemda). Padahal, modus seperti ini sudah banyak menelan korban anggota DPR yang tersangkut korupsi dan gratifikasi.

“DPR lebih banyak berkutat dengan masalah-masalah yang tak terkait langsung dengan fungsi pokok mereka, atau mengurus perilaku yang diduga melanggar etika, dan yang paling penting adalah kasus korupsi,” ungkap Lucius.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement