REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat lingkungan dan kehutanan, Ricky Avenzora menilai sebaiknya kebakaran hutan dan lahan tidak ditetapkan sebagai bencana nasional. Sebab penetapan status bencana nasional akan membawa banyak konsekuensi dalam implementasinya.
"Konsekuensi tersebut diantaranya dalam hal finansial yang akan membebani negara, konsekuensi sosial dan politik, serta konsekuensi ekonomi dan keamanan negara," ujarnya kepada Republika.co.id.
Intensitas laju bencana harus diprediksi dengan holistik. BMKG harus segera ditugaskan untuk mengeluarkan prediksi cuaca dari berbagai model dan teori klimatologi.
Ia melanjutkan, kalau perlu, BMKG harus mampu melahirkan model reverse butterfly effect. Karena hanya dengan model pendugaan cuaca terbaiklah kita semua akan bisa memprediksi rentang waktu laju bencana secara valid dan reliable.
"Kita tidak bisa lagi hanya berpikir dengan model-model reguler dan mengharapkan keajaiban alam untuk menurunkan hujan tiba-tiba," kata dia.
Barangkali, kata Ricky, sudah waktunya bagi Presiden untuk menugaskan para pembantunya menyiapkan exit strategy dari semua sektor pembangunan. Semua sikap-sikap dan tindakan kontra produktif yang ditunjukan semua pihak, baik dalam negeri ataupun luar negeri, harus bisa diselesaikan secara efektif demi terjaganya eksistensi berbangsa dan bernegara dalam semua aspek.
Hingga saat ini, salah satu teknik pemadaman kebakaran hutan dan lahan yang tergolong termurah dan teraman adalah menggunakan air. Namun memang secara teori, proses terbakarnya material basah akan menghasilkan lebih banyak asap dari terbakarnya material kering.