Rabu 28 Oct 2015 12:58 WIB

Banyak Perda Dinilai Diskriminatif Terhadap Perempuan

Rep: Antara/ Red: Andi Nur Aminah
Perempuan memakai celana ketat terjaring razia Polisi Syariat Islam atau Wilayatul Hisbah dibantu Satpol PP dan aparat TNI/Polri saat razia penegakkan syariat Islam di Lhokseumawe, Provinsi Aceh. Selasa (15/9).
Foto: Antara/Rahmad
Perempuan memakai celana ketat terjaring razia Polisi Syariat Islam atau Wilayatul Hisbah dibantu Satpol PP dan aparat TNI/Polri saat razia penegakkan syariat Islam di Lhokseumawe, Provinsi Aceh. Selasa (15/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Institut Pemberdayaan Perempuan dan Anak Indonesia Ninik Rahayu menilai, masih banyak peraturan daerah yang berpotensi menjadi alat diskriminasi bagi kaum perempuan. "Berdasarkan pemantauan kami, hingga November 2014 ada 364 kebijakan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan," ujar mantan Komisioner Komnas Perempuan itu dalam sebuah acara diskusi, di Jakarta, Rabu (28/10).

Dia memaparkan, berdasarkan riset yang telah dilakukan dengan timnya, ditemukan tiga jenis pelembagaan diskriminasi terhadap perempuan di dalam perda. Pertama adalah pembatasan hak kebebasan berekspresi melalui kebijakan daerah tentang aturan busana.

"Kebebasan berbusana sebagai bentuk berekspresi sudah dijamin dalam konstitusi UUD 1945 pasal 28 E no.2," ujarnya mencontohkan.

Dia berpendapat, kebijakan yang mengatur tentang busana atas dasar satu interpretasi agama tertentu merupakan tindakan negara yang membatasi hak berekspresi seseorang atas dasar pembedaan kepercayaan.

Selanjutnya, pengurangan hak perlindungan dan kepastian hukum akibat kriminalisasi oleh perda tentang prostitusi dan oleh Qanun Khalwat (perda Provinsi Aceh). Melalui kebijakan semacam itu perempuan menjadi rentan terhadap penindakan yang sesungguhnya tidak melawan hukum.

"Misalnya di Aceh, perempuan yang sedang berinteraksi dengan laki-laki rentan dihukum karena kebijakan yang melarang bersunyi-sunyi antarajenis kelamin dan bisa dihukum cambuk," tuturnya mencontohkan.

Potensi diskriminasi yang terakhir ialah pengabaian hak atas perlindungan dalam perda tentang buruh migran. Menurutnya, Kebijakan daerah tentang buruh migran ada yang mengabaikan perlindungan terhadap perempuan.

"Terutama tindak kekerasan seksual dan diskriminasi berbasis gender. Akibatnya perempuan tidak memperoleh kesempatan yang sama dalam usahanya mencari nafkah," jelas Ninik.

Peraturan daerah merupakan produk dari otonomi daerah yang menjadi salah satu ujung tombak dalam berdemokrasi. Dengan tujuan mewujudkan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Kebijakan desentralisasi tersebut juga telah diatur dalam UU 1945 yang memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah agar memiliki kemandirian dalam memajukan masyarakatnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement