REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Perhimpunan Advokat Indonesia menilai rencana pemberlakuan hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak perlu memiliki pijakan dalam konstitusi.
"Pelaku kekerasan seksual terhadap anak memang layak dikenai hukuman berat, tapi kami hanya mengingatkan bahwa setiap penerapan hukuman baru harus memiliki 'cantolan' dalam konstitusi (UUD 1945)," kata Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Achiel Suyanto di Yogyakarta, Selasa (27/10).
Menurut Achiel, tanpa memiliki pijakan yang kuat dalam UUD 1945, maka inisiatif penerbitan peraturan pemerintah yang direncanakan akan melandasi pemberlakuan hukum kebiri sewaktu-waktu dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Oleh sebab itu, menurut dia, inisiatif pemberlakuan hukum kebiri sebaiknya bukan hanya merespons tingginya angka kekerasan seksual terhadap anak, melainkan juga memperhatikan konstitusi sebagai hukum dasar yang ada di Indonesia.
Selain itu, dia mengatakan, setiap pemberlakuan hukum baru tersebut juga tetap harus berlandaskan tujuan memberi efek jera, bukan membalas dendam. "Tujuannya untuk memberi efek jera, bukan balas dendam," kata dia.
Sementara itu, menurut dia, meski belum efektif menghentikan kasus kekerasan seksual terhadap anak, hingga saat ini Peradi masih memandang hukuman seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak masih ideal dan relevan diberlakukan dalam konteks kehidupan sosial di Indonesia.
"Selain memang belum pantas diterapkan di Indonesia, hukuman kebiri memang sulit ditemukan dasar hukumnya dalam UUD 1945," kata dia.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly di Yogyakarta, Selasa (27/10) mengatakan hukuman yang keras bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak penting diterapkan di Indonesia.
Hukuman kebiri sebagai hukuman tambahan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, kata dia, jangan diartikan sebagai hukuman permanen seumur hidup. "Bukan dibuang testisnya. Jangan disamakan dengan konsep (kebiri) pada zaman dahulu," katanya.