REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- Petani dan nelayan sebagai tulang punggung perekonomian sejumlah negara berkembang ternyata sangat rentan menghadapi perubahan iklim.
Oleh sebab itu, lembaga keuangan internasional di bawah PBB, the International Fund for Agricultural Deveopment (IFAD) mendukung kebijakan pembangunan pedesaan yang iklusif dan inovatif di sejumlah negara.
Direktur IFAD untuk Asia Pasifik, Hoonae Kim mengatakan IFAD tahun ini memiliki portofolio investasi mencapai 2,05 miliar dolar AS di 22 negara di regional Asia Pasifik. Investasi tersebut diperkirakan bisa dimanfaatkan 24 juta petani dan nelayan di berbagai pedesaan di dunia.
"Masyarakat petani dan nelayan rentang terhadap dampak buruk perubahan iklim. Pertanian sendiri adalah bisnis, sehingga harus menjadi tantangan bersama," ujar Kim di Jimbaran, Bali, Selasa (27/10).
Petani dan nelayan, kata Kim, penting untuk dilibatkan bersama pemerintah dan sektor swasta. Mereka perlu beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.
Apalagi, kata Kim, satu miliar penduduk dunia masih kelaparan dan mayoritas berada di wilayah Asia Pasifik. Di Asia contohnya, ada negara yang surplus pertanian dan defisit pertanian.
Negara dengan pertanian surplus, contoh Kim adalah Thailand dan Vietnam, sementara Cina dan Filipina terkadang masih mengalami defisit sehingga harus mengimpor dari negara lain. Indonesia ia menilai masih belum bisa dikatakan negara defisit pertanian, meski masih melakukan sejumlah impor.
"Menurut saya Indonesia masih di tengah, namun jika defisit maka bisa memperolehnya dari negara lain," kata Kim.
Indonesia memiliki kebijakan di sektor pertanian dan pangan, sehingga bisa mencapai target pengurangan kelaparan MDG-1.
Persentase penduduk kurang gizi di Indonesia, khususnya balita bisa ditekandari 19,7 persen pada 1990-an menjadi 7,6 persen pada 2014.
Sejak beroperasi pada 1978, IFAD telah berinvestasi di 25 negara Asia Pasifik dengan sasaran mencapai 145 juta orang. Presiden Republik Kiribati, Anote Tong menilai negara kepulauan kecil paling merasakan dampak perubahan iklim.
"Meski tantangan banyak, kita tetap berpikiran posiif dan jangan berpikiran negatif," katanya dalam kesempatan sama.
Tong mencontohkan Kiribati yang hanya negara berupa pulau kecil dengan 33 atol dan dataran rendah seluas 811 kilometer (km) per segi. Lautannya sangat luas, mencapai 3,5 juta km per segi, dua kali Alaska.
Ketika merdeka secara politik pada 1979, kata Tong, banyak negara di dunia mempertanyakan bagaimana Kiribati bisa bertahan hidup. Setelah 36 tahun merdeka saat ini, Kiribati bisa bangga menjadi negara dengan kekayaan bahari indah di dunia, identitas budaya kuat, meski hanya negara kepulauan kecil.
Tong mengatakan Kiribati mengesahkan sebuah undang-undang yang mendukung efisiensi BUMN dalam mempertahankan kualitas pelayanan publik, termasuk di sektor pertanian dan kelautan. Pemerintah juga membuka secara transparan kompetisi sektor swasta, juga menerima bantuan pendanaan serta pendampingan dari IFAD.