REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Ribuan nelayan tradisional di Provinsi Sumatera Utara tidak bisa melaut akibat kabut asap yang semakin pekat menutupi di perairan daerah itu, selama beberapa minggu belakangan ini.
"Nelayan kecil yang tidak pergi menangkap ikan ke laut, berasal dari 16 kabupaten/kota di Provinsi Sumut," kata Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Sumut Fendi Pohan di Medan, Ahad (25/10).
Ke-16 kabupaten/kota itu, menurut dia, beberapa diantaranya Kota Medan, Kota Tanjung Balai, Kota Sibolga, Kabupaten Deli Serdang, Langkat, Serdang Bedagai, Batubara, Nias Selatan, Asahan, Madina, dan daerah lainnya. "Nelayan yang tidak bisa turun ke laut menangkap ikan itu, umumnya mereka yang berada di daerah pesisir," ujar Fendi.
Dia menjelaskan, akibat nelayan tersebut tidak pergi menangkap ikan. Dan harga ikan selama beberapa hari ini mengalami kenaikan, masyarakat juga mengeluh.
Selain itu, para nelayan juga terlilit hutang dengan pengusaha yang selama ini memberikan modal kepada mereka mencari ikan ke laut. "Setiap hari para nelayan kecil itu, terus meminjam uang kepada toke ikan, untuk keperluan biaya anak dan keluarga mereka, katanya.
Fendi menyebutkan, kalau kabut asap itu terus semakin pekat dan tidak juga berkurang, maka dikhawatirkan para nelayan banyak yang mengalami gulung tikar. Sebab, nelayan tersebut sudah cukup lama tidak bekerja menangkap ikan ke laut. Hal ini membuat semakin banyaknya rakyat miskin.
Oleh karena itu, katanya, Pemerintah Pusat dapat secepatnya mengatasi kasus kebakaran hutan/lahan di Provinsi Riau, Jambi dan Sumatera Selatan. "Kabut asap yang terjadi di wilayah Sumut, menimbulkan bencana bagi kehidupan dan perekonomian nelayan, serta masyarakat di daerah itu," kata mantan Ketua DPC HNSI Medan itu.
Data dari Pengurus DPD HNSI Sumut, jumlah nelayan di provinsi itu diperkirakan mencapai lebih kurang 400 ribu.