REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengindikasi adanya praktik kampanye hitam yang masif di momen kebakaran hutan dan lahan yang tengah menjadi fokus pemberitaan. Contoh terbaru yang paling kentara yakni kasus kebakaran lahan sawit di Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah.
Menurut Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang Gapki, Eddy Martono, di Nyaru Menteng tersiar kabar dan gambar soal pohon kelapa sawit yang tumbuh di areal tersebut di antara asap kebakaran yang masih menguasai udara.
"Ini ganjil, karena di teknis budidaya, jangankan manusia dan tumbuhan, sawit pun akan mati kalau ditanam di lahan dengan kondisi begitu," katanya dalam diakusi publik bertajuk "Benarkah Ekspansi Besar Sawit Bakar Hutan untuk Mendukung Program Listrik 35 Ribu MW?" di Hall Gedung Dewan Pers pada Ahad (25/10).
Situasi ganjil tersebut memunculkan tanya, ada oknum yang memanfaatkan situasi kebakaran hutan dan kabut asap untuk menghantam pasar sawit Indonesia. Sebab produktivitas sawit yang tinggi dan kaya nilai guna tak sebanding dengan kedelai atau biji bunga matahari yang tengah dikembangkan negara asing.
Ia pun membandingkan kasus kebakaran hutan dan lahan yang mulai besar di kawasan Papua. Di sana lahan terbakar, padahal tidak ada sawit. Jadi, ia meminta agar penyelidikan yang dilakukan pihak berwajib dan pemerintah transparan.
Gapki sangat setuju dilakukan penindakan terhadap pembakar hutan. Menum mereka meminta tidak berat sebelah dengan hanya menunjuk perusahaan sawit yang jadi penyebab utama. "Banyak faktor harus dipertimbangkan, sebab kita juga rugi besar kalau kebun terbakar," terangnya.
"Kebakaran yang terjadi di konsesi terdeteksi hanya 20 persen di lahan sawit, sisanya, ada kebakaran dan titik api di areal HTI, HPH, dan lahan masyarakat," ujarnya.
Ia menerangkan, total lahan perkebunan sawit se-Indonesia seluas 10,9 juta hektare. Dari luasan tersebut, ada 4,5 juta hektare lahan milik petani dan kepemilikan non perusahaan. Sementara seluruh anggota Gapki menguasai lahan sawit seluas 3,9 juta hektare. Sisanya perusahaan non anggota Gapki dan BUMN.
Eddy juga memastikan perusahaan anggota Gapki tidak melakukan pembersihan lahan untuk kebun dengan cara membakar sejak 2002. Ketika akan membuka lahan untuk sawit, perusahaan telah siap menyediakan dana land clearing untuk penyiapan lahan Rp 6 juta. Di samping itu, biaya perkebunan dari nol menanam sawit sekitar Rp 60-70 juta per hektare.