Kamis 22 Oct 2015 22:12 WIB

Hukuman Kebiri Dianggap tak Memutus Organ Seksual, Hanya Kendalikan Libido

Rep: Desy Susilawati/ Red: Winda Destiana Putri
Kebiri kimia (ilustrasi)
Foto: www.sydneycriminallawyers.com.au
Kebiri kimia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Jokowi telah menyetujui usulan untuk hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan dan kekerasan seksual pada anak atau pedofilia.

Kabarnya dalam waktu dekat akan hadir Peraturan Presiden (Perpu). “Tadi malam atau dua hari yang lalu saya sangat bangga dengan Presiden Jokowi yang akan mengeluarkan perpu tentang pemberatan hukum bagi para pedofilia dihukum kastrasi atau kebiri. Itu adalah respon yang harus diapresiasi,” ujar Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas) Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait kepada Republika ketika ditemui dikantornya, Jakarta, Kamis (22/10).

Lalu apakah hukuman kebiri itu membuat efek jera? Menurutnya, karena hukuman ini belum diuji, jadi belum terlihat apakah akan memberikan efek jera. Tapi sayangnya ada beberapa pihak yang menyangsikan hukuman kebiri ini.

“Kok belum diuji banyak orang nanya efektif atau enggak. Ya tidak bisa, harus jalanin dulu,” ujarnya.

Hukuman kebiri ini, lanjutnya, sebenarnya merupakan gagasan Komnas Perlindungan Anak tahun 2013 silam. Ketika Komnas Perlindungan Anak sedang membicarakan darurat  kejahatan seksual. Dan mereka mengikuti parameternya penegakan hukum tidak ada.

“Maka itu perlu dihukum para predator anak itu maksimal seumur hidup, atau minimal 20 tahun ditambah dengan pembaratan hukum yang pertama kastrasi atau kebiri lewat suntik kimia.

Yang pemberatan hukum yang kedua adaah sosial punishment atau sanksi sosial sesuai dengan penetapan pengadilan, warga masyarakat diberikan kewenangan atau hak menyebarkan luaskan pamflet-pamflet atau foto-foto para pelaku ditempat-tempat umum.

Dan ternyata direspon oleh Presiden Jokowi. “Itu adalah pemberatan hukuman kastrasi atau kebiri lewat suntik kimia. Suntik kimia itu bukan memutus organ-organ seksual yang diberikan Tuhan, itu gak, dia dikendalikan lidibonya, seksualitasnya,” ungkapnya.

Dalam mengusulkan adanya hukuman kebiri, ada referensi dari negara-negara lain. Misalnya Korea Selatan, sebagian negara Amerika, Polandia, Jerman bahkan Turki akan membuat hukuman seperti itu. Ada refrensi yang bisa digunakan.

“Nah, dinegara-negara tersebut ketika diterapkan sanksi kebiri terjadi penurunan angka kekerasan seksual terhadap anak,” ujarnya.

Sedangkan di Indonesia, hukuman itu belum diberlakukan. Baru disampaikan Presiden, tapi faktanya sudah banyak orang yang beranggapan negatid, belum dilaksanakan.

“Kalau memang tidak efektif, Perpu itu bisa ditarikkan. Perpu itu kan hadir karena mengisi kekosongan hukum yang tidak berkeadilan bagi korban ketika dia mengalami kekerasan, keluarlah Perpu,” tambahnya,

Setelah sanksi kebiri, rencana Komnas Perlindungan Anak berikutnya adalah meminta supaya kekerasan terhadap anak dalam bentuk apapun harus ditetapkan sebagai kejahatan yang luar biasa.

“Ini supaya bisa dihukum sesuai dengan permintaan banyak orang. Kadang-kadang ada yang marah hukum rajam atau hukum mati saja pelaku kejahatan tersebut. Kita belum punya hukuman itu dasar hukumnya, untuk itu bisa dipenuhi perlu ditetapkan sebagai kejahatan luar biasa,” sarannya.

Disitu sebenarnya kalau kita mau memutus mata rantai anak, harus ada peran serta masyarakat, penegakan hukum yang jelas, komitmen negara dan bangsa ini bahwa itu kejahatan luar biasa.

“Penegakan hukum yang jelas supaya jadi efek jera. Jika tidak jelas, Indonesia bisa dianggap surga pedofilia, nanti orang asing datang kesini,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement