REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) yang dibangun di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ternyata dinilai belum dioptimalkan di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla.
“Kinerja Jokowi-JK masih setengah hati menjalankan amanat UU BPJS. Mereka hanya memainkan peran saat BPJS sudah berjalan,” jelas mantan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Chazali Situmorang dalam rilisnya kepada Republika.co.id, Kamis (22/10).
Agar optimal, maka ia pun meminta agar pemerintah lebih tegas dalam menertibkan rumah sakit dan Ppskesmas yang tidak melayani peserta BPJS dengan baik dan manusiawi.
Di sisi lain, ia juga mengungkapkan bahwa capaian kepesertaan BPJS Kesehatan saat ini meningkat tajam. Namun, masih mengandalkan dari peserta penerima bantuan iuran dibanding para pekerja penerima upah maupun pekerja bukan penerima upah atau pekerja informal.
“Jangankan di masyarakat bawah yang termasuk dalam pekerja informal, di masyarakat menengah ke atas yg tingkat pengetahuan tinggi saja masih sangat banyak yang belum tertarik jadi peserta BPJS Kesehatan. Maka ini perlu sosialisasi yang lebih masif lagi, secara teknis BPJS harus mempunyai pola yang lebih efektif.”
Sementara itu, pengamat jaminan sosial Hery Susanto mengatakan bahwa penetapan direksi serta Dewan Pengawas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan terancam deadlock. Ia menjelaskan bahwa amanah UU Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS Pasal 63 akhir 2015 ini harus ada pergantian dewan pengawas dan direksi pada kedua BPJS.
Namun, hingga sekarang Pansel untuk BPJS belum dibentuk presiden, lama waktu transisi BPJS menurut UU BPJS total paling lama 75 hari kerja, yakni 45 hari kerja proses di Pansel dan 20 hari saat proses DPR bagi dewan pengawas BPJS, serta 10 hari melalui presiden.
“Waktu efektif hari kerja kalender tinggal 47 hari lagi. Jika lewat 2015, maka harus dibuat Perppu terkait hal tersebut,” katanya.