Rabu 21 Oct 2015 21:42 WIB

Jumlah Pekerja Asing di Media Massa Meningkat

Tenaga kerja asing  (ilustrasi)
Tenaga kerja asing (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Praktisi media, Sirikit Syah, menyatakan pekerja asing di media massa mulai meningkat, apalagi menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang membebaskan tenaga asing masuk ke Indonesia untuk mencari pekerjaan yang lebih layak.

"Saya menyadari bahwa menjelang MEA pada akhir 2015, pekerja asing mulai masuk ke Indonesia, seperti konsultan asing media, produser, pemilik media, hingga kemungkinan yang paling buruk terjadi jika reporter asing juga bisa masuk ke dalam Indonesia," katanya di Surabaya, Rabu (21/10).

Ia mengatakan hal itu bisa menjadi ancaman bagi generasi muda yang akan mencari atau membutuhkan pekerjaan, karena dianggap lapangan pekerjaan tersebut sudah tertutup oleh tenaga kerja dari negara lain, akibat dari adanya pembebasan tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia. "Terlihat bahwa di Jakarta, tenaga asing mulai memasuki dunia media massa karena media tersebut memang membutuhkan tenaga profesional, sedangkan tenaga profesional yang memenuhi kriteria perusahaan adalah tenaga asing. Inilah yang harusnya perlu dicermati dan disadari lebih lanjut agar nantinya masyarakat Indonesia tidak tergeser oleh tenaga asing," ujarnya.

Menurut dia, selain serbuan tenaga kerja asing yang mulai memasuki dunia media, juga adanya beberapa negara yang mulai tertarik untuk berinvestasi di Indonesia dalam bidang media massa, seperti salah satunya adalah negara Jepang yang mulai bekerja sama dengan stasiun televisi di Indonesia. "Negara Jepang juga sudah mulai tertarik dengan Indonesia untuk investasi di dunia media. Selain itu, negara Filipina juga akan membangun sekolah khusus jurusan jurnalistik di tingkat Asean untuk mengakomodasi tenaga asing supaya bisa masuk Indonesia," tuturnya.

Dia mengungkapkan profesi di bidang jurnalistik bisa dimasuki oleh siapapun karena masih belum adanya lembaga khusus yang menangani sertikasi profesi jurnalistik secara luas, sehingga hal tersebut terkadang juga bisa disalahgunakan bagi orang-orang yang tidak memahami kode etik jurnalistik.

"Sebenarnya, Dewan Pers sudah mengadakan sertifikasi profesi wartawan, namun ada beberapa kendala yaitu kurang meratanya sertifikasi profesi wartawan karena keberadaan dewan pers yang ada di pusat saja, berbeda halnya dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang juga berada di daerah," terangnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement