Rabu 21 Oct 2015 08:08 WIB

Wartawan dan Media Abal-Abal

Arif Supriyono
Foto: dok pribadi
Arif Supriyono

Oleh: Arif Supriyono

Wartawan Republika

Dalam dua bulan ini, beberapa kali saya mendapat undangan dari Kemendagri untuk berbagi pengalaman dengan para peserta pendidikan dan pelatihan kehumasan. Bisa bertemu, berkenalan, dan berdiskusi dengan para pejabat humas dari berbagai provinsi dan kabupaten tentu menjadi pengalaman yang mengesankan.

Banyak di antara mereka yang masih muda. Namun, tak sedikit pula yang telah berusia paruh baya atau sekitar 50-an tahun.

Sebagian besar terlihat begitu bersemangat mengikuti materi diskusi. Tak hanya pria, para peserta perempuan pun tak kalah aktif dalam berdiskusi atau mengajukan pertanyaan.

Dari beberapa kali pertemuan, selain membahas materi pelatihan, mereka umumnya menanyakan cara mengantisipasi dan menangani para wartawan yang berasal dari media yang tidak jelas. Munculnya topik ini pada saat diskusi sangat bisa dipahami meski tak ada dalam kurikulum pelatihan.

Bisa jadi, salah satu yang menjadi pertimbangan para peserta untuk membahasnya lantaran saya seorang wartawan. Senyampang ada wartawan, tak ada salahnya kalau masalah itu ditanyakan. Mungkin begitu yang ada di benak mereka.

Keheranan saya bukan karena topik lain yang mereka ajukan, akan tetapi lebih pada keseriusan mereka saat membicarakan masalah tersebut. Seolah mereka sudah jenuh dan ingin segera bisa terbebaskan dari urusan yang sering membuat pusing itu.

Kalau berdiskusi soal materi pelatihan, mereka seringkali mengutarakan dengan diselingi canda dan guyonan. Nah tatkala membahas soal wartawan yang tidak jelas itu, mereka mengungkapkannya seolah dengan mimik wajah yang disertai kerutan di dahi.

Keluhan tentang wartawan tidak jelas, yang jumlahnya seringkali melebihi wartawan beneran di lingkungan kerjanya, rata-rata dibenarkan oleh semua peserta pelatihan. Para pejabat humas ini sudah geregetan namun tak bisa berbuat banyak. Keadaan ini bukan fenomena yang terjadi di satu-dua wilayah saja. Tampaknya ini sudah menjadi gejala umum dan bisa dijumpai nyaris di seluruh wilayah kabupaten.

Kejadian lebih nyata saya alami tatkala ada seminar jurnalistik di Pemerintah Kabupaten Bekasi, Jawa Barat beberapa minggu kemudian yang pesertanya para wartawan di lingkungan Pemkab Bekasi. Para pesertanya lebih banyak yang bukan berasal dari media yang dikenal masyarakat selama ini. Dalam sesi tanya-jawab, mereka inilah yang lebih terlihat menguasai panggung.

Salah seorang wartawan bahkan menanyakan larangan dalam Kode Etik Jurnalistik yang tak membolehkan wartawan menerima uang atau suap yang bisa memengaruhi independensi mereka. Tanpa tedeng aling-aling, wartawan itu menjelaskan, bahwa dia sama sekali tak pernah digaji oleh perusahaan tempatnya bekerja.

“Kalau tak boleh menerima uang, dari mana lagi kami bisa mendapatkan penghasilan,” kata sang wartawan itu. Mereka lalu minta agar keberadaannya dilindungi oleh Dewan Pers.

Saya sungguh terkejut mendengar penjelasan mereka. Bila berpikir dengan akal sehat, mestinya orang itu akan keluar dan pindah kerja karena tak dibayar. Nyatanya, itu tak terjadi. Mereka tetap saja bekerja di lembaga tak beradab tersebut.

Bukan tidak mungkin, jumlah wartawan seperti ini sangat banyak dan nyaris tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Tak jarang pula mereka lebih ‘menguasai’ struktur kepengurusan di lingkungan atau kelompok kerjanya.

Beberapa di antara mereka sempat memperlihatkan satu edisi penerbitan media cetaknya. Pada umumnya, media itu tak terbit harian namun berkala (bisa mingguan atau dwimingguan), walau formatnya lebih mirip koran.

Saya pun pernah menemukan media semacam itu dalam beberapa edisi. Ternyata, isi beritanya banyak yang diulang-ulang. Berita yang edisi sebelumnya ada di halaman pertama, digeser ke halaman dalam dengan sedikit perubahan pada judul di edisi lain. Ada pula berita yang sama dimuat lagi pada edisi berikutnya namun divermak dengan cara mengubah judul atau teras berita. Dalam satu edisi, mungkin hanya beberapa berita saja yang baru sama sekali.

Memang melelahkan bila para pejabat dan staf sebuah instansi harus berurusan dengan awak media model ini. Kadang-kadang permintaanya aneh-aneh dan disertai tekanan. Namun, untuk mengabaikan juga masih belum bisa dilakukannya. Justru seringkali mereka diperlakukan lebih istimewa ketimbang awak redaksi dari media beneran.

Kondisi ini tentu tak bisa dibiarkan terus-menerus. Motivasi utama mereka bukan mencari informasi atau berita. Semua pihak juga tahu, mereka lebih mengharapkan adanya imbalan atau isi amplop dari narasumber atau pihak yang mengundang/menyelenggarakan acara. Banyak pula di antara mereka yang sengaja meminta uang dan tak jarang setengah memaksa.

Selain merepotkan instansi yang bersangkutan, situasi seperti ini juga membuat buruk citra wartawan di mata masyarakat luas. Kesan masyarakat terhadap profesi wartawan menjadi negatif. Wartawan dianggap identik dengan pekerjaan yang meminta-minta amplop atau imbalan dari narasumber/pengundang.

Adalah tugas Dewan Pers untuk memperbaiki situasi ini. Sesuai Undangn-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers pada pasal 15 ayat 2g, tugas Dewan Pers adalah mendata perusahaan pers. Dari hasil pendataan itu, sebaiknya secara berkala Dewan Pers mengumumkan jumlah perusahaan pers (badan hukum) yang telah memenuhi verifikasi. Akan lebih baik kalau hasil verifikasi perusahaan pers itu diumumkan di laman Dewan Pers serta dikirimkan ke beberapa instansi pemerintah.  

Dengan demikian, instansi yang berkepentingan akan tahu perusahaan pers mana saja yang benar dan mana yang abal-abal (palsu atau tak jelas). Data dari Dewan Pers itu akan acuan bagi semua instansi untuk tidak segan lagi menolak dengan tegas permintaan aneh-aneh dari mereka. Tak perlulah ada rasa segan, khawatir, apalagi takut.  

Di samping itu, pihak yang mengundang acara liputan bagi awak media, sebaiknya memang tidak memberi amplop --tentu beserta isinya-- kepada wartawan. Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dengan jelas menyebutkan, bahwa wartawan Indonesia tidak menerima suap. Dalam penafsiran KEJ disebutkan, segala pemberian dalam bentuk uang, benda, atau fasilitas lain yang memengaruhi independensi wartawan adalah suap.

Kalau langkah ini dijalankan dengan baik, saya percaya gangguan dari wartawan dan media abal-abal akan berkurang. Bila gangguan itu masih saja ada, maka menjadi wewenang instansi yang bersangkutan untuk mengabaikan dan mengusir mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement