REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Penerbitan paket kebijakan jilid empat ternyata malah membuat daerah kebingungan terutama soal penetapan upah. Hal ini karena belum ada Peraturan Pemerintah (PP) soal penetapan upah, sementara waktu penetapan semakin sempit karena harus disahkan pada 6 November ini.
Menurut Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan, pihaknya belum menerima PP soal upah yang dikabarkan masih dalam bentuk rancangan. Namun, Ia optimistis pemerintah pusat akan segera melakukan sosialisasi kepada Pemda mengingat aturan upah punya arti sangat penting.
"Saya belum nerima PP-nya, kita masih menunggu keputusannya seperti apa," ujar Heryawan di gedung DPRD Jabar, Senin petang (19/10).
Heryawan mengatakan, Ia mendapatkan undangan dari pusat untuk datang ke Jakarta pada Rabu, 21 Oktober mendatang. Namun belum dapat dipastikan tujuan dari undangan tersebut.
"Gubernur juga bupati/walikota se-Indonesia akan rapat dengan Presiden, tapi tidak tahu agendanya seperti apa," katanya.
Sementara menurut, Kepala Dinas Tenagakerja dan Transmigrasi Jabar Hening Widyatmoko, meski pihaknya belum mendapat PP soal upah, namun diperkirakan penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) tahun 2016 akan sedikit berbeda dibandingkan sebelumnya. Sebab, upah akan dihitung berdasarkan upah minimum tahun berjalan dikalikan dengan angka inflasi serta tingkat pertumbuhan ekonomi.
Hening khawatir perhitungan tersebut menimbulkan bola panas. Sebab, perhitungan berdasarkan angka inflasi dan pertumbuhan nasional. Padahal, kondisi di setiap daerah sangat berbeda-beda.
Selain itu, kata dia, perhitungan upah kali ini juga tidak akan berdasarkan angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL) seperti yang dilakukan tahun tahun sebelumnya. Padahal, survei KHL di sejumlah kabupaten/kota tengah dikebut dan sudah hampir tuntas. Pemerintah pusat memerintahkan kepada masing-masing kepala daerah untuk mengevaluasi jenis dan komponen KHL setiap 5 tahun sekali.
"Ini akan jadi bola panas karena merubah banyak hal," kata Hening.