Ahad 18 Oct 2015 17:32 WIB

Bencana Asap Tak Kunjung Usai, Muslimah HTI Bentuk Petisi

Rep: c01/ Red: Friska Yolanda
Sejumlah pengendara melintas di jalan yang dipenenuhi kabut asap kebakaran hutan dan lahan di Pekanbaru, Riau, Rabu (30/9).
Foto: Antara/Rony Muharrman
Sejumlah pengendara melintas di jalan yang dipenenuhi kabut asap kebakaran hutan dan lahan di Pekanbaru, Riau, Rabu (30/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) menilai bencana kabut asap yang terus berulang selama 18 tahun terakhir di Indonesia ini harus segera diakhiri. Melalui petisi, MHTI mendorong agar pemerintah segera melakukan upaya mengatasi secara tuntas bencana kabut asap ini.

Juru Bicara MHTI Iffah Ainur Rohmah mengatakan, bencana kabut asap di Indonesia telah berulang kali terjadi dalam kurun 18 tahun terakhir. Iffah melihat salah satu penyebab tidak teratasinya bencana kabut asap di Indonesia selama belasan tahun ini karena pemerintah mengabaikan kedudukan hutan dn lahan gambut sebagai harta milik umum yang harus dikelola degara untuk kebaikan bersama.

Kasus bencana kabut asap yang terjadi saat ini, lajut Iffah, telah menjadi silent killer yang mengancam kesehatan 26,5 juta juwa penduduk di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Terlebih, korban jiwa akibat bencana kabut asap mulai berjatuhan.

Oleh karena itu, MHTI mendorong pemerintah untuk segera menyelesaikan permasalahan bencana kabut asap ini. Penyelesaian masalah ini, lanjut Iffah, bukan hanya untuk saat ini tetapi juga untuk seterusnya.

"Bukan hanya menyelesaikan permasalahan kabut asap saat ini tetapi juga agar tidak berulang kembali di tahun-tahun berikutnya," ungkap Iffah dalam Diskusi Politik dan Konferensi Pers yang diselenggarakan MHTI di Hotel Gren Alia Cikini, akhir pekan lalu.

Untuk mendorong pemerintah, MHTI menelurkan petisi dari tokoh perempuan MHTI dan kaum ibu yang terdiri dari empat poin tuntutan kepada pemerintah. Dalam tuntutan pertama, MHTI ingin agar pemerintah dengan segera mengerahkan segenap sumber daya, dana dan teknologi untuk menghentikan kebakaran hutan di Indonesia. Di saat yang sama, pemerintah juga dituntut untuk menyediakan fasilitas kesehatan bagi warga terdampak kabut asap.

Dalam poin kedua, MHTI meminta agar pemerintah segera merevolusi total tata kelola gambut di Indonesia saat ini. Gambut, lanjut Iffah, memiliki fungsi sebagai penyeimbang iklim sehingga sudah seharusnya pemerintah menghindarkan lahan gambut dari eksploitasi.

Dalam poin ketiga, MHTI menuntut agar pemerintah menghentikan pemberian hak istimewa dalam penguasaan dan pengelolaan hutan serta gambut kepada individu atau korporasi. Hak istimewa ini perlu dihentikan baik mengenai skelma konsesi atau sekma lainnya. 

Dalam hal ini, MHTI juga menuntut agar pengelolaan gambut dikembalikan sebagaimana mestinya, yaitu sebagai penampung air di musim penghujan agar tidak banjir, dan sebagai sumber air saat musim kemarau.

Sedangkan dalam poin terakhir, MHTI menuntut agar pemerintah bertanggung jawab penuh dalam pemulihan fungsi hutan lahan gambut. Pasalnya, pemulihan fungsi ini juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan harus disertai dengan teknologi, studi, keahlian dan berbagai aspek lain. 

"Dalam hal ini negara juga harus lepas dari tekanan dan kepentingan asing dalam pengelolaan gambut," terang Iffah.

Koordinator Lajnah Mashlahiyyah MHTI, Rini Syafri, menilai kondisi bencana kabut asap saat ini sudah sangat memprihatinkan. Per 11 Oktober lalu, sudah tercatat sembilan korban jiwa akibat bencana kabut asap yang melanda Sumatera dan Kalimantan ini, di mana bayi juga turut menjadi korban. 

Rini menilai salah satu penyebab terus berulangnya bencana kabut asap di Indonesia ialah tata kelola hutan dan lahan gambut yang tidak semestinya. Lahan gambut tidak seharusnya dibakar untuk kemudian ditanami sawit atau akasia untuk keperluan industri.

Cekungan yang terdapat dalam lahan gambut, lanjut Rini, dapat menyerap air keitka hujan sehingga banjir dapat dihindari. Kemudian, lahan gambut juga dapat menguapkan air sedikit demi sedikit ketika musim kemarau datang sehingga lahan gambut di Indonesia, dengan wilayah yang sangat luas, dapat menjadi penyeimbang bagi iklim dunia.

"Karena itu gambut harus dikelola sesuai karakter alaminya, dipertahankan cekungannya dan tidak boleh dibakar. Ketika dibakar, ia akan jadi penyumbang CO2 yang berperan besar terhadap efek rumah kaca," jelas Rini.

Oleh karena itu, Rini mendorong agar pemerintah tidak hanya berperan sebagai regulator saja dalam proses pengelolaan gambut di Indonesia. Pemerintah, lanjut Rini, perlu melakukan riset serius, pemetaan dan memberdayakan ahli-ahli dari negara sendiri untuk mengelola gambut sesuai dengan karakter alaminya.

"Tidak bisa disandarkan kepada perusahaan, tapi negara. Negara wajib hadir secara utuh tidak hanya sebagai regulator (dalam pengelolaan gambut)," tegas Rini.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement