REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Begitu banyak status darurat yang dikenakan pada Indonesia saat ini. Salah satu yang mengemuka saat ini adalah Indonesia berada pada kondisi darurat aliran uang ilegal. Tahun 2003, total aliran uang ilegal dari Indonesia ke luar negeri diduga mencapai Rp 141,82 triliun. Angka itu meningkat menjadi Rp 227,75 triliun pada tahun 2014.
Indonesia termasuk lima negara dengan jumlah aliran uang ilegal terbesar di dunia setelah Tiongkok, Rusia, India, dan Malaysia. Khusus untuk sektor pertambangan, kenaikan aliran uang ilegal sangat fantastis.
Dalam kurun waktu 2003 hingga 2014 mencapai 102,43 persen atau rata–rata setiap tahun terjadi kenaikan sebesar 8,53 persen. Tahun 2003 total aliran uang ilegal di sektor pertambangan ditengarai mencapai Rp. 11,80 triliun, sedangkan tahun 2014 naik mencapai Rp. 23,89 triliun.
Peneliti kebijakan ekonomi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Wiko Saputra mengatakan, aliran uang ilegal di sektor pertambangan diakibatkan oleh adanya transaksi perdagangan faktur palsu atau ttrade mis-invoicing.
"Hal ini terjadi karena maraknya tambang–tambang ilegal yang beroperasi (illegal mining) dan terjadi ekspor komoditi pertambangan yang tidak tercatat," ucapnya dalam siaran persnya, Jumat (16/10) malam.
Selain itu, besarnya jumlah aliran uang ilegal di sektor pertambangan juga disebabkan oleh tingginya indikasi terjadinya penghindaran pajak dan pengelakan pajak yang melibatkan perusahaan pertambangan di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari data realisasi penerimaan pajak di sektor pertambangan yang hanya sebesar Rp. 96,9 triliun.
Bandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertambangan yang mencapai Rp 1.026 triliun. Artinya, nisbah penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) sektor pertambangan hanya sebesar 9,4 persen.
Wiko mengatakan KPK menemukan masih banyak perusahaan pertambangan di Indonesia yang tidak patuh dalam pembayaran pajak. Misalnya saja, dari data hasil Koordinasi dan Supervisi KPK dengan Kementerian ESDM dan instansi terkait, dari 7.834 perusahaan yang di data oleh Direktorat Jenderal Pajak, sebesar 24 persen tidak memiliki NPWP, serta sekitar 35 persen yang tidak melaporkan surat pemberitahuan (SPT).
"Kondisi ini memberikan sinyal terjadinya indikasi kejahatan keuangan dan kejahatan perpajakan yang melibatkan perusahaan pertambangan di Indonesia sehingga menimbulkan kerugian negara," jelasnya. Selain itu aktivitas bisnis perusahaan pertambangan juga berdampak terhadap kerusakan lingkungan dan rawan terjadinya konflik lahan dan konflik sosial.