REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kabupaten Bekasi Obon Tabroni menyatakan menolak Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai rumus kenaikan upah buruh yang akan segera disahkan . FSPMI menuntut beberapa hal terkait rumusan tersebut.
"Pertama, kalaupun pakai rumus masukin juga standar KHL (Kebutuhan Hidup Layak) nya. Benerin dulu KHLnya. Kalau KHLnya udah bener, kemudian pengawasan. Upah naik segini kalau pengawasan nggak jelas jadi masalah juga. Yang ketiga dari hitung-hitungan, harus melihat dari realitas itu sendiri," ujar saat dihubungi Republika, Jumat (16/10).
Obon menjelaskan, saat ini pihaknya masih dalam proses menghitung standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Kabupaten Bekasi. Namun, dengan adanya rumus yang sudah pasti ditetapkan pemerintah, serikat buruh merasa tidak perlu lagi melakukan hal itu.
"KHL kita realitas atau aktual itu sudah sekitar Rp 3,4 juta. Sekarang kan UMR Rp 2,84 juta. Dinaikkan 10 persen masih belum sampai. Ini juga dari rumusan ini kurang dari 10 persen malah. Ini baru di Bekasi, belum di daerah lain," jelasnya.
Dengan KHL sebesar tersebut, lanjut Obon, perkiraan kenaikan yang dibutuhkan oleh buruh di Kabupaten Bekasi yaitu sebesar 30 persen. Kendati begitu, yang ditolak oleh para buruh bukan hanya jumlah kenaikan yang masih kurang.
"Yang kita tolak bukan hanya karena tadi (KHL), tapi mekanisme kenaikan upah jadi mutlak kewenangan dari pemerintah, tidak ada negosiasi dan jauh dari realitas kebutuhan yang ada," katanya.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri pada Kamis (15/10) lalu mengumumkan akan segera mengesahkan Rancangan peraturan pemerintah mengenai formulasi kenaikan upah minimum tahun depan.
Rumusan tersebut yaitu hasil dari upah minimum provinsi (UMP) tahun berjalan ditambah hasil perkalian UMP tahun yang sama dengan persentase tingkat inflasi ditambah dengan pertumbuhan ekonomi. Dalam rumusan tersebut tidak ada standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL).