REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak 70 tahun Indonesia merdeka, sudah 70 tahun pula Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak memiliki listrik. Ternyata kemerdekaan belum menjamin masyarakat Indonesia makmur merata.
Petualang Ekspedisi Sumba 2015, Dea Sitohang mengatakan ada kepala suku di Sumatra Barat (Sumbar), usianya sudah 73 tahun, bahkan mengaku baru mengenal lampu pad atahun ini. Hal-hal sederhana namun menggambarkan ketimpangan itu disampaikan Ddea saat ditemui di The Erasmus Huis, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Kamis (15/10).
Dea mengatakan, mereka benar-benar hanya mengandalkan cahaya matahari. Maka aktivitas pun harus terhenti saat malam mulai menyapa. Tidak ada yang bisa dilakukan dalam gelap.
Masyarakat Desa Dikira, Sumatra Barat Daya, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bekerja bercocok tanam. Hasilnya kerja itu hanya untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga kecil saja. Sedangkan para ibu, kegiatan mereka tidak jauh dari menenun kain.
"Sejak ada lampu, ibu-ibu di sana yang semula hanya menghasilkan lima kain dalam satu hari sekarang bisa sampai 10 kain," ujar Dea.
Hanya saja lampu itu masih dalam bentuk semacam lampu jinjing yang harus di cas di sekolah. Ada panel yang dibangun untuk menyerap energi matahari. "Jadi anak yang sekolah datang bawa lampu untuk di cas, malamnya mereka bisa belajar dan ibu-ibu juga bisa lanjut kerja," ujarnya