Rabu 14 Oct 2015 14:14 WIB

Genjot Penyerapan Anggaran, ini Saran BPK

Rep: C14/ Red: Bayu Hermawan
Gedung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Foto: Republika/Musiron
Gedung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengatakan penyerapan anggaran di sejumlah kementerian/ lembaga negara dan pemerintah daerah terbilang masih lamban. Padahal, waktu yang tersisa hanya dua bulan sebelum tutup tahun anggaran.

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Harry Azhar Azis mengatakan ada antisipasi demi menggenjot penyerapan anggaran. Ia menuturkan, dulu di zaman penjajahan Belanda, lembaga pemeriksa keuangan--semacam BPK kini--punya hak keberatan yang dijamin sistem hukum.

Dengan hak tersebut, lembaga audit itu dapat memberikan antisipasi dini kepada pemerintah kolonial, bahwa suatu program layak atau tidak layak untuk dilanjutkan pada tahun anggaran berikutnya.

"Itu hak keberatan. Tapi tidak ada di UU BPK (yang berlaku kini). Enggak ada," ujar Harry Azhar Azis.

Dalam UU Nomor 15/2006 tentang BPK, lanjut Harry, yang ada ialah kewenangan BPK untuk menyatakan pendapat, bukan hak keberatan, kepada pemerintah.

"Tapi saya berpendapat, bahwa pendapat BPK itu berarti bahwa satu belanja itu boleh atau tidak boleh dilakukan," katanya.

Maka dalam konteks upaya menggenjot penyerapan anggaran, Harry mengimbau semua pemerintah daerah agar berkomunikasi dengan pihaknya. Ia mencontohkan, seorang kepala daerah dipersilakan bertanya kepada BPK perihal suatu program yang anggarannya akan dicairkan.

Dengan begitu, BPK akan memberikan pendapatnya, apakah program tersebut masih layak atau justru akan menimbulkan potensi kerugian keuangan negara di kemudian hari.

"Itu (pendapat BPK) memberikan semacam kepastian hukum bagi si pelaksana anggaran bahwa mereka tidak akan dikriminalisasi. Bahwa pendapat BPK menyatakan boleh, maka artinya aparat penegak hukum tidak bisa (memprosesnya secara pidana)," jelasnya.

Marwan menjelaskan, untuk semester I tahun ini, pihaknya sudah menyampaikan pendapat kepada tujuh daerah. Kendati demikian, Harry mengakui, UU BPK kini masih perlu melihat pada konteks terkini yang lebih mengutamakan pendekatan preventif.

Di Thailand, sebut dia, ada lembaga Majelis Kerugian Keuangan Negara. Sehingga, pegawai negara yang diketahui menyebabkan kerugian keuangan negara, dapat langsung ditindak secara administratif.

Tindakan tersebut disertai pula langkah preventif guna menimbulkan efek jera bagi oknum yang lalai. Yakni, selain mesti membayar kerugian negara, oknum tersebut juga mesti membayar denda dan bunga dalam tahun berjalan sebelum kerugian negara dilunasinya.

"Kalau saya berpendapat, (mekanisme) itu mungkin akan mengurangi potensi pegawai menyelewengkan keuangan negara. Tapi tetap itu mesti kembali ke DPR dan pemerintah. Itu perubahan undang-undang (UU BPK)," jelasnya lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement