REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo bakal menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, dipilihnya tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional itu setelah Presiden menerima masukan dari berbagai pihak.
"Dari semua masukan yang ada, semua memberikan dukungan terhadap rencana penetapan Hari Santri pada tanggal 22 Oktober," ujarnya di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (13/10).
Menurut Pramono, penetapan Hari Santri Nasional itu akan dikukuhkan dengan penerbitan keputusan presiden (Keppres). Kendati begitu, peringatan itu tidak dijadikan sebagai hari libur nasional.
Pada peringatan perdana Hari Santri Nasional mendatang, Pramono menyebut akan ada sebuah acara besar yang digelar di Jakarta. Namun, kemungkinan acara peringatan Hari Santri Nasional tidak tepat digelar pada 22 Oktober. Sebab, di tanggal tersebut Presiden sudah dijadwalkan untuk menerima tamu kenegaraan Ratu Denmark Margrethe II.
"Sehingga waktunya akan disesuaikan," kata kader PDIP tersebut.
Gagasan soal Hari Santri Nasional pertama kali terlontar saat masa kampanye Pilpres 2014 lalu. Saat berkampanye di Pondok Pesantren Babussalam Malang pada 27 Juni 2014 lalu, Jokowi diminta menandatangani perjanjian kesepakatan untuk menjadikan tanggal 1 Muharram sebagai Hari Santri Nasional apabila ia terpilih menjadi presiden.
Namun, NU rupanya punya usulan lain. Salah satu ormas Islam itu meminta agar Hari Santri Nasional ditetapkan pada 22 Oktober. Sejarah nasional mencatat pada 22 Oktober 1945 kalangan ulama yang dipelopori Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyerukan Resolusi Jihad di Surabaya, Jawa Timur, untuk menyikapi keinginan Belanda ingin berkuasa kembali di Republik Indonesia.