Rabu 07 Oct 2015 12:21 WIB

Pengamat: Perubahan UU KPK, Salah Satu Cara Bubarkan KPK

Rep: C07/ Red: Bayu Hermawan
 Ketua KPK, Abraham Samad (tengah) didampingi dua pengacaranya, Abdul Fikar Hadjar (kiri) dan Danang Trisasongko (kanan) menggelar jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (17/2) malam. (Antara/Sigid Kurniawan)
Ketua KPK, Abraham Samad (tengah) didampingi dua pengacaranya, Abdul Fikar Hadjar (kiri) dan Danang Trisasongko (kanan) menggelar jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (17/2) malam. (Antara/Sigid Kurniawan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan ada beberapa hal yang harus dicermati sehubungan dengan rencana perubahan UU KPK oleh DPR melalui prolegnas 2015.

Pertama, rencana ini jelas dan terang merupakan langkah lanjutan yang sistemik untuk tidak hanya melemahkan tapi bahkan salah satu cara membubarkan KPK oleh para politisi partai yang khawatir terjerat  KPK.

Kedua, usulan perubahan atas dasar logika yang terbalik dengan kondisi riil. Khususnya, kebutuhan atas upaya penyidikan yang luar biasa dalam mengungkap perkara korupsi.

"Justru dengan sistem dan realitas hari ini korupsi sedang marak-maraknya terjadi, kemudian Kejaksaan dan Kepolisian langkahnya sarat ditunggangi kepentingan kelompok," katanya kepada Republika.co.id, Rabu (7/10).

Ketiga, sambung Abdul, Presiden harus mengambil tindakan untuk tidak menyetujui usulan perubahan UU KPK tersebut.  Karena, bila UU tersebut jadi dibahas dan disetujui MK, maka sejarah akan mencatat bahwa di era Presiden Jokowi lah KPK akan dihabisi.

"Presiden juga bisa dianggap sebagai rezim anti pemberantasan korupsi jika secara tegas tidak melakukan perlawanan terhadap tindakan DPR," ujarnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, sejumlah fraksi di DPR akan melakukan pembahasan usulan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam salinan draft yang diperoleh awak media, ada beberapa pasal yang dinilai kontroversial. Berikut draft tersebut diantaranya:

Pasal 5

Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan

Pasal 13

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, tindak pidana korupsi yang:

(b) menyangkut kerugian negara paling sedkit Rp 50.000.000.000,00

(c) dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan penyidikan dimana ditemukan kerugian negara drngan nilai dibawah 50.000.000.000, maka wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan kepada kepolisian dan kejaksaan dalam waktu paling lama 14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement