REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) menilai pentingnya pengukuhan hari santri nasional. Ketua umum PBNU Said Aqil Siradj mengatakan hari santri nasional perlu dikukuhkan karena dua alasan. Pertama karena penghormatan atas jasa pahlawan dan kedua sebagai pembangkit patriotisme.
"Hari santri bukan sebatas hari orang Islam. Hari santri ialah hari orang Indonesia yang beragama Islam. Karenanya hari santri bukan sejenis hari raya yang bisa diperingati universal sekuruh dunia. Tetapi harus merepresentasikan substansi kesantrian. Yakni spiritualitas dan patriotisme," ujar Said Aqil Siradj di Jakarta, Selasa (6/10).
Untuk itu, PBNU beserta 12 ormas lain yang tergabung dalam Lembaga Persaudaraan Ormas Islam (LPOI) mengusulkan agar hari santri jatuh pada tanggal 22 Oktober. Dipilihnya tanggal tersebut karena pada tanggal 22 Oktober 1945 KH Hasyim Asy'ari mengumumkan fatwanya yang disebut resolusi Jihad.
Resolusi jihad lahir melalui musyawarah para kiai dari berbagai daerah di Indonesia untuk merespon agresi penjajah. Fatwa ini menyerukan bahwa setiap muslim wajib memerangi orang kafir yang menghalangi kemerdekaan Indonesia.
Pejuang yang mati dalam medan perang disebut syuhada dan warga negara yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan dan harus dihukum mati. Menurutnya, usulan pengukuhan hari santri ini telah disampaikan ke Presiden Joko Widodo.
Ia mengatakan Presiden Jokowi sepakat dengan adanya pengukuhan hari santri hanya saja belum menemukan tanggal yang tepat. Presiden sempat mengusulkan hari santri jatuh pada tanggal satu muharam. Namun, tanggal tersebut dinilai kurang tepat karena diperingati oleh seluruh dunia sebagai tahun baru Islam.
Hari santri haruslah perayaan yang tidak dimiliki negara lain dan memiliki nuansa khas kesantrian. Untuk itu, PBNU dan ormas lain mengusulkan tanggal 22 Oktober.