REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Seiring perlambatan ekonomi, jumlah karyawan yang menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Jabar terus bertambah. Menurut Kepala Disnakertrans Jabar, Hening Widyatmoko, data PHK terkahir yang dilaporkan ke Kemenakertrans mencapai 6.000 orang.
"Saat ini kami sedang mengumpulkan data terbaru soal jumlah tenagakerjaan yang di-PHK, laporan ini akan disampaikan ke pusat pada 14 Oktober mendatang," ujar Hening kepada wartawan, Selasa (6/10).
Hening mengatakan, pihaknya hanya menampung laporan PHK dalam jumlah kecil. Untuk PHK massal, dilaporkan langsung ke Kemenakertrans.
PHK massal itu, kata dia, biasanya dilakukan jika sebuah perusahaan terus merugi dalam dua tahun terakhir. Selain itu, kebijakan pemecatan besar-besaran dilakukan jika perusahaan melakukan relokasi ke daerah lain. "Di Jabar, ada yang melakukan PHK massal," kata Hening.
Menurutnya, perusahaan yang melakukan PHK dalam jumlah besar berasal dari Majalengka. Namun, jumlahnya masih dibawah 100 orang. Mereka bergerak di industri padat karya, namun sulit bersaing sehingga terpaksa tutup.
Selain di Majalengka, kata dia, PHK massal juga dilakukan di Kabupaten Bogor. Industri ini bergerak di bidang garmen dan produksi kaus kaki. Akan tetapi, hal ini dilakukan karena akan relokasi ke Kabupaten Cianjur yang notabene punya upah lebih ringan hanya Rp 1,7 jutaan atau lebih kecil dibandingkan Bogor yang mencapai Rp 2,7 juta.
Begitu juga di Kabupaten Bandung, ada industri yang akan relokasi. "Ke depan, banyak investasi yang pindah ke daerah yang upahnya lebih ringan seperti Cianjur dan juga Majalengka," katanya.
Menurut Hening, PHK karena tujuan relokasi masih lebih baik karena investasi tidak sampai kabur ke luar negeri. Namun, pihaknya mengkahwatirkan bagi tenaga kerja yang sudah lanjut usia atau sudah berkeluarga. Mereka tidak mungkin ikut pindah ke tempat lokasi baru industri didirikan.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Tenagakerja dan Transmigrasi Jabar mengusulkan konsep 'Sosial Safety Net' untuk memberdayakan para korban PHK. Cara ini pernah diterapkan saat krisis ekonomi 1998.
Kebijakan Sosial Safety Net atau Jaring Pengaman Sosial ini, kata dia, memiliki tiga misi. Yakni, mendorong korban menjadi wirausaha, mendorong korban ke jabatan/posisi yang berbeda, serta mendorong korban ke desa dan menjadi motor perubahan.
Hening mengatakan, usulan ini telah disampaikan ke Komisi V DPRD Jabar. Ia berharap, konsep itu dapat didukung untuk dilaksanakan pada 2016 mendatang.
"Kebijakan ini perlu dukungan lintas sektoral seperti Dinas Pertanian, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BPMPD)," katanya.