Selasa 06 Oct 2015 02:21 WIB

Hujan Buatan tak Efektif Kurangi Kabut Asap

  Petugas menuangkan garam semai yang digunakan untuk operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) atau hujan buatan di Lanud Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Selasa (14/1).(Republika/Rakhmawaty La'lang)
Petugas menuangkan garam semai yang digunakan untuk operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) atau hujan buatan di Lanud Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Selasa (14/1).(Republika/Rakhmawaty La'lang)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Menteri Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir mengakui kebijakan hujan buatan di titik-titik api untuk mengurangi dampak kabut asap kurang efektif.

Hal ini disampaikannya usai membuka acara pameran sains dan teknologi Indonesia-Jerman di Jakarta, Senin (5/10). Menurut Nasir, penyebabnya adalah wilayah begitu luas dan teknologi itu bergantung pada keberadaan awan, selain faktor "human error".

"Kabut asap terjadi akibat kesalahan manusia, hutannya dibakar. Jika sudah begitu, siapa pun ahli teknologinya ini akan tetap jadi masalah," ujarnya. Meskipun begitu, Kemenristekdikti melalui Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi masih bergantung pada hujan buatan ini. Sebab, walau kurang efektif, teknik memunculkan air dari awan dengan menaburkan garam Natrium Klorida ini cukup berhasil di beberapa daerah seperti Palembang dan Kalimantan.

"Di Riau sulit dilakukan karena tidak ada awan," kata Nasir.

Untuk menyelesaikan permasalahan ini dan mencegah agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di tahun-tahun berikutnya, Menristekdikti menyatakan pihaknya terus menjalin pembicaraan dengan Presiden Joko Widodo.

Sementara, terkait pembakaran hutan penyebab kabut asap parah di beberapa wilayah Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menemukan bahwa dari Januari hingga September 2015, ada 16.334 titik panas (berdasarkan LAPAN) atau 24.086 (berdasarkan NASA FIRM) yang tersebar di lima provinsi dengan kebakaran hutan terparah yaitu Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Riau.

Titik-titik tersebut paling banyak berada di konsesi perusahaan. Beberapa di antaranya yaitu Kalimantan Barat ada 2.495, Kalimantan Tengah 5.672, Riau 1.005, Sumatera Selatan 4.416 dan Jambi 2.842.

Nilai ISPU di daerah-daerah tersebut dalam beberapa waktu belakangan sudah di atas level berbahaya. Contoh di Kalimantan Barat, indeks standar pencemaran umum (ISPU) sempat mencapai angka 1.300 atau empat kali lipat level berbahaya (di angka 300-500), sementara nilai ISPU rata-rata mencapai 600-800.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement