Sabtu 03 Oct 2015 10:11 WIB

Perlukah Melibatkan Negara Lain Dalam Urusan Haji?

Arif Supriyono
Foto: dok pribadi
Arif Supriyono

Oleh: Arif Supriyono

Wartawan Republika

Tragedi Mina itu kembali terjadi. Sampai saat ini jumlah korban yang meninggal dilaporkan sudah lebih dari 1.000 jamaah. Masih ada lima kontainer lagi yang berisi jenazah para jamaah haji dan belum teridentifikasi.

Sejak 1990, ini merupakan kali ketujuh terjadinya saling injak antarjamaah haji di Mina, Arab Saudi yang menimbulkan korban jiwa. Pada musim haji 1990, sebanyak 1.426 jamaah meninggal, hampir separuh di antaranya berasal dari Indonesia.

Lalu pada 1990, korban meninggal sebanyak 270 jamaah. Pada tahun 1998, tragedi Mina menewaskan 180 jamaah. Di tahun 2001, korban jiwa di Mina mencapai 35 jamaah.

Pada tahun 2004, saling injak antarjamaah ini membuat nyawa 244 jamaah melayang. Kemudian di tahun 2006, sekitar 360 jamaah juga meninggal akibat saling injak.

Telah terjadi tujuh kali musibah saling injak antarjamaah di Mina hanya dalam rentang 15 tahun, tentulah sebuah tragedi buruk yang tak diinginkan siapa pun dalam pengelolaan haji. Karena itu peristiwa ini layak jadi bahan renungan untuk mengantisipasinya di masa mendatang.

Saya tak ingin membahas soal korban meninggal para jamaah haji yang semua pihak tentu memastikan akan menjadi syuhada. Tanpa dihisab (ditimbang), mereka bakal masuk sorga kelak.

Seorang teman saya berkomentar semaunya tentang hal ini. Kata teman saya, jika mereka pasti masuk sorga, maka yang membuat mereka menjadi syuhada berarti juga mendapat pahala. Paling tidak, lanjut teman saya, keluarga para syuhada itu justru harus bersyukur atas wafatnya para jamaah haji sebab telah dijamin masuk sorga. Lantaran saya tak memahami logika teman saya itu, maka saya tak mau mendiskusikan lebih jauh.

Pun saya tak ingin mengupas penyebab terjadinya saling injak antarjamaah haji. Info yang berkembang memang berseliweran dan belum tentu kebenarannya.

Semula ada yang mengabarkan, aktivitas yang dilakukan putra mahkota Kerajaan Arab Saudi di sekitar Mina menyebabkan salah satu pintu terowongan Mina ditutup sehingga membuat jamaah yang melintas di jalur itu terpaksa membelokkan arah. Ini yang kemudian dilaporkan membuat para rombongan jamaah berpapasan lalu terjadi kemacetan dan muncul suasana saling dorong serta saling injak.

Ada pula yang mengabarkan, faktor utama penyebab musibah ini adalah soal kedisiplinan. Meski telah dibuat jadwal per negara dan per rombongan, toh banyak jamaah yang tak disiplin dan mencari waktu paling afdol untuk melempar jumroh. Maka, jalur menuju lokasi pelemparan jumroh penuh sesak dan saling dorong serta injak pun tak terelakkan.

Belakangan beredar juga kabar, penyebab utama terjadinya musibah kali ini adalah rombongan haji dari Iran yang bergerak untuk melempar jumroh dengan melawan arus. Saat mereka berjalan berhadapan dengan rombongan haji dari negara lain, maka terjadilah tragedi memilukan tersebut.

Memastikan peristiwa mana yang menjadi penyebab terjadinya musibah itu, bukan hal yang mudah dan tak bisa dilakukan serta-merta. Apalagi tim yang akan dibentuk untuk menyelidiki musibah tersebut praktis belum bekerja. Independensi tim penyelidik sangat dibutuhkan agar tak ada niat untuk menyudutkan kelompok tertentu.

Saya hanya ingin membahas soal kewenangan mengelola ibadah haji. Selama ini ibadah haji sepenuhnya menjadi hak dan kewenangan pemerintah Arab Saudi. Alasannya, ini karena lokasi yang menjadi tempat pelaksanaan ibadah haji berada di wilayah negara Arab Saudi.

Saya punya pemikiran lain. Akan lebih mulia bila pengelolaan ibadah haji (mungkin juga umroh) ditangani bersama oleh sebuah konsorsium --wakil resmi negara-- yang beranggotakan negara-negara dengan jumlah penduduk Islam yang besar.

Bisa saja anggota tetapnya terdiri atas wakil dari lima negara, termasuk Arab Saudi, sedangkan anggota tidaknya tetapnya dipilih dari empat atau enam negara lainnya yang bisa berganti setiap sekian tahun sekali.

Tim inilah yang bertanggunng jawab atas pelaksanaan ibadah haji. Tim atau konsorsium itu pula yang punya kewenangan untuk melakukan perluasan atau pengembangan lokasi pelaksanaan ibadah haji, tentu saja harus berkoordinasi dengan pemerintah Arab Saudi.

Para jamaah haji adalah tamu Allah, bukan tamu satu negara. Mereka pun datang dari pelbagai penjuru dunia. Sudah pada tempatnyalah jika yang mengurusi juga wakil dari lintas negara.

Haji adalah ibadah wajib yang harus dijalankan oleh umat Islam yang telah memiliki kemampuan: secara moril, materiil, dan fisik. Dalam pelaksanaan rukun Islam kelima itu ada tempat-tempat atau lokasi tertentu yang harus dikunjungi yang membuat sah atau tidaknya ibadah haji seseorang. Kalau jamaah tidak mengunjungi lokasi itu atau beribadah di tempat itu, maka hajinya tidak akan sah.

Pertanyaannya sekarang, milik siapakah tempat-tempat suci atau lokasi yang wajib dikunjungi oleh umat Islam tersebut saat menjalankan ritual ibadah haji? Jawaban idealnya adalah milik umat Islam di mana pun berada. Faktanya, tempat-tempat yang wajib dikunjungi dalam ritual ibadah haji itu milik pemerintah Arab Saudi.

Jika tempat-tempat yang wajib dikunjungi oleh setiap jamaah haji itu menjadi milik umat Islam, maka akan banyak hal positif yang menyertainya. Rasa memiliki seluruh umat Islam akan sedemikian besar. Saat ini, sebagian umat Islam merasa tempat-tempat suci atau yang wajib dikunjungi jamaah haji itu millik negara Arab Saudi sepenuhnya.

Dengan menjadi milik Islam, maka persaudaraan dan persatuan umat Islam akan kian kokoh. Mereka pun merasa terwakili untuk ikut memiliki tempat-tempat itu karena representasi anggota dalam tim atau konsorsium yang mengelola haji dan tempat-tempat suci atau tempat yang wajib dikunjungi jamaah haji.

Saling lempar tanggung jawab jika terjadi sesuatu akan bisa lebih diperkecil. Pengusutan terhadap suatu kejadian yang tak diinginkan akan lebih mudah karena bisa menghindari terjadinya konflik kepentingan. Lantaran anggota konsorsium yang melibatkan banyak negara, maka saling keterbukaan dan pengertian pun akan lebih gampang tercipta.

Tidak mudah memang untuk mencapai hal itu. Kebesaran jiwa dari pemerintah Arab Saudi dan kehendak kuat dari seluruh komponen negara Islam atau negara dengan jumlah penduduk Islam besar tentu akan sangat menentukan. Namun, jika semua pihak berpikir untuk kejayaan dan kebesaran Islam, maka pilihan itu akan lebih mudah untuk diwujudkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement