REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Gagal panen (puso) yang melanda areal pertanian di Kabupaten Indramayu pada musim tanam gadu (kemarau) tahun ini, makin meluas. Para petani pun menjerit karena mengalami kerugian yang besar.
Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu, Firman Muntako menyebutkan, hingga saat ini, luas lahan yang mengalami puso mencapai 21.050 hektar. Areal puso itu tersebar di 24 kecamatan di Kabupaten Indramayu.
Dengan jumlah kecamatan di Kabupaten Indramayu yang berjumlah 31 kecamatan, berarti hanya tujuh kecamatan yang lahan pertaniannya tidak ada puso. ''Tanaman padi mengalami puso akibat kekeringan,'' kata Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu, Firman Muntako kepada Republika.co.id, Kamis (1/10).
Terpisah, Kabid Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu, Takmid menyebutkan, tujuh kecamatan yang lahan pertaniannya tidak ada puso adalah Kecamatan Bangodua, Widasari, Sukra, Bongas, Anjatan, Tukdana, dan Patrol.
Untuk lahan pertanian di Kecamatan Sukra, Anjatan, Patrol, dan Bongas, saat ini umur tanamannya bervariasi mulai dari beberapa minggu hingga menjelang panen. Daerah tersebut mendapat pengairan dari Waduk Salamdarma, yang bersumber dari Bendungan Jatiluhur.
Sedangkan Kecamatan Bangodua, Widasari, dan Tukdana, sumber pengairannya berasal dari bendung Rentang, Kabupaten Majalengka. Areal pertanian di daerah tersebut mendapat pasokan air yang cukup karena berada di wilayah hulu.
Menurut Takmid, puso akibat kekeringan terutama terjadi di daerah-daerah yang berada paling ujung (hilir) dari saluran irigasi bendung Rentang. Adapun daerah-daerah itu, di antaranya Kecamatan Kandanghaur, Losarang, Gantar, Haurgeulis, Cikedung, Terisi, Gabuswetan, Lohbener, Arahan, Cantigi, Krangkeng, Karangampel, Juntinyuat, Balongan, Jatibarang, Indramayu, Pasekan, dan Sindang.
Takmid mengatakan, untuk mencegah puso, pihaknya sebenarnya sudah berupaya melakukan langkah antisipasi. Selain memberlakukan jadwal gilir giring dan pengawalan distribusi air, juga melakukan pompanisasi dan normalisasi saluran-saluran air.
Namun, musim kemarau tahun ini yang diatas normal menyebabkan sungai-sungai dan saluran irigasi juga mengering. Akibatnya, pompanisasi tak bisa dilakukan secara optimal karena memang tak ada air yang bisa disedot.
Ketika disinggung mengenai realisasi tanam padi pada musim tanam gadu tahun ini, Takmid menyebutkan, hingga awal September lalu, mencapai 102 ribu hektar. Dari jumlah itu, 50 persen diantaranya sudah berhasil panen.
Sementara itu, kondisi puso membuat para petani menjerit. Seluruh modal yang telah mereka keluarkan untuk biaya tanam gadu pun hilang tak bisa kembali. ''Padahal sudah keluarkan modal habis-habisan,'' keluh seorang petani asal Desa Bulak Lor, Kecamatan Jatibarang, Sadi.
Sadi menyebutkan, total modal yang dikeluarkannya untuk biaya tanam gadu tahun ini mencapai Rp 50 juta. Selain untuk bibit, pupuk, maupun ongkos tanam, uang itu juga dikeluarkannya untuk mengupayakan penyedotan air bagi sawahnya yang luasnya empat bau (1 bau = 0,75 hektar). ''Nyedot airnya tak bisa berlanjut karena sungainya kering,'' keluh Sadi.