Selasa 29 Sep 2015 18:58 WIB
Pilkada 2015

Putusan MK Terkait Pilkada Timbulkan Masalah Baru

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Ilham
Direktur Pukat UGM Zainal Arifin Muchtar
Foto: Antara/David Muharmansyah
Direktur Pukat UGM Zainal Arifin Muchtar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Universitas Gajah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar menilai putusan Mahkamah Agung terkait penetapan aturan baru dalam mekanisme pemilihan kepala daerah dengan satu pasangan calon justru menimbulkan masalah baru.

Ia mengatakan, pemilihan calon tunggal pilkada dengan memilih kolom "Ya" atau "Tidak" akan bermasalah terkait mekanisme pelaksanaannya. "Mekanisme, cara, kapan pelaksanaannya," kata Zainal di Universitas Indonesia Salemba Jakarta, Selasa (29/9).

Menurut dia, keputusan itu bisa untungkan orang yang mau memerintah sementara. "Bisa saja ditunda lama referendumnya, banyak deh, banyak problem, karena MK tidak bangun detail soal referendumnya," Zainal.

 

Lebih lanjut, ia menyebut putusan tersebut justru hanya menyelesaikan masalah lama dan menciptakan masalah baru. Putusan MK itu masih membutuhkan pembahasan yang lebih jauh terkait cara pelaksanaannya. Sebab, mekanisme pelaksanaannya tidak diatur secara detail dalam undang-undang.

Selain itu, Zainal menilai dalam pelaksanaan pilkada lebih baik menggunakan metode bumbung kosong ketimbang metode referendum tersebut. "Saya sih harap MK tidak lakukan terobosan dengan referendum, misal lawan kotak kosong. Bisa dibuat mekanismenya tapi MK sudah katakan itu, referendum, kelihatan populis tapi masalah besar itu soal mekanisme," jelas dia.

Kendati demikian, ia mengaku masih belum mengetahui jelas terkait putusan Mahkamah Agung tersebut.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk memperbolehkan calon tunggal untuk mengikuti pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada Desember mendatang. MK mengatakan nantinya pemilih mencoblos 'YA' atau 'TIDAK' terhadap calon tersebut.

Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan nantinya pada pemilihan tersebut, kertas suara diberi pilihan apakah calon tunggal itu disetujui atau tidak jadi kepala daerah. Jika suara yang setuju lebih banyak maka otomatis calon tunggal itu menjadi kepala daerah. Jika kalah, maka Pilkada digelar lagi di periode berikutnya.

"Pemilih pilih ya atau tidak," katanya dalam sidang putusan calon tunggal di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (29/9).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement