REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Volume air tanah di Bandung dinilai mulai kritis. Hal ini karena air tanah memasok lebih dari 50 persen kebutuhan air bagi warga. Menurut Pakar Air Tanah dari ITB, Lambok Hutasoit, air tanah pada hakikatnya sumberdaya yang terbarukan. Namun, jika tidak dikelola dengan baik maka akan terjadi ketidakseimbangan antara resapan dan pengambilan.
"Air tanah di Bandung sudah mulai kritis karena ulah manusia itu sendiri," ujar Lambok kepada wartawan, Sabtu (26/9).
Menurut Lambok, pembangunan di Bandung semakin pesat dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya, terlihat dari menjamurnya apartemen dan hotel. Kebutuhan air bagi hotel dan apartemen tersebut tidak mungkin dapat dipenuhi hanya oleh PDAM.
Intensitas pengambilan air tanah dalam jumlah besar, kata dia, akan sangat berbahaya. Dapat mengakibatkan penurunan muka air tanah, amblesan hingga krisis ketersediaan air tanah bagi masyarakat.
"Air tanah itu banyak dipakai karena kualitasnya lebih bagus dibandingkan air permukaan," katanya.
Dikatakan Lambok, pemerintah berupaya untuk menjaga volume air tanah melalui program pembuatan biopori. Namun hal ini belum tentu efektif. Ia mengusulkan agar setiap rumah di Bandung untuk membuat sumur resapan dengan kedalaman minimal 1 meter.
"Membuat sumur resapan murah kok, paling cuma Rp 1 jutaan," katanya.
Sementara menurut Ketua Perhimpunan Ahli Tanah Indonesia (PAAI) Agus Mochamad Ramdhan, pengelolaan air tanah semakin tidak terkendali pascapembatalan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh karena itu, saat ini pihaknya besama akademisi, peneliti dan praktisi sedang menyusun buku yang akan memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya air khusunya air tanah.
"Saat ini air tanah seperti tidak bertuan, karena itu pemanfaatannya mesti diatur," katanya.
Saat ini, kata dia, terjadi peralihan perizinan pengelolaan air tanah dari sebelumnya di pemerintah kabupaten/kota menjadi di tangan pemerintah provinsi dan pusat. Hal ini sesuai dengan UU 23/2014 tentang Pemda. Peralihan kewenangan tersebut sangat berpengaruh, karena kabupaten/kota sudah tidak mau mengurusi
"Namun provinsi dan pusat masih belum siap betul," katanya.